Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah kisah awal babad Ramayana. Bertutur tentang ilmu untuk mencapai kesempurnaan hidup yang bisa mengungkap rahasia alam semesta beserta perkembangannya.
Cerita cinta sepertinya tak pernah padam sepanjang sejarah manusia. Sepasang wanita dan pria terlibat dalam hubungan asmara, satu hal yang wajar-wajar saja,
Nafsu yang lepas kendali, telah berhasil mengalahkan pikiran jernih. Padahal Dewi Sukesi dan Wisrawa adalah manusia-manusia yang sudah punya kesadaran spiritual tinggi, masih juga bisa terkikis sifatnya yang bijak.Itulah kenapa para pinisepuh didalam setiap kesempatan selalu mengingatkan kepada kita semua supaya tetap eling lan waspada
Selama masih sebagai manusia yang berbadan fisik dan halus, selama itu pula masih bisa terjerat oleh goda yang kelihatannya manis dan enak, tetapi mengakibatkan keterpurukan.
Hubungan cinta ragawi Wisrawa dan Sukesi yang hanya dilandasi nafsu semata, menghasilkan buah yang sepadan
Dari sudut pandang spiritualitas, cerita cinta Wisrawa dengan Sukesi adalah untuk mengingatkan kepada pencari pencerahan jiwa untuk jangan terjebak kedalam berbagai nafsu yang negatif
Kalau kita sudah bisa mengendalikan berbagai macam nafsu termasuk menentramkan pikiran dan mengarahkannya kepada hal-hal yang positif, barulah rasa hati bisa meneb – diajak tentram, raga tenang, santai-heneng, kemudian rasa menjadi hening- tentram sekali.
Untuk mencapai meneb, heneng, hening, itu mudah dikatakannya, tetapi perlu latihan santai tetapi tekun untuk bisa mencapainya.Oleh karena itu, orang-orang tua zaman dulu banyak yang “nglakoni”- ngurang-ngurangi, tirakatan, dengan jalan antara lain menjalani berbagai macam laku puasa, mengurangi tidur dan sebagainya.Sebenarnya, salah satu jalan sederhana yang bisa dilaksanakan adalah menjalani urip sakmadyo- hidup sederhana, semampunya, seperti apa adanya.
Makan secukupnya, tidak perlu mewah, yang penting sehat, banyak sayur dan buah. Tidur seperlunya saja, jangan terlalu banyak, tidurlah pada waktu sudah mengantuk sekali.Tidur sebentar tetapi berkwalitas, itu yang penting. Kebanyakan tidur tidak baik untuk mereka yang ingin meningkatkan kesadaran spiritualnya. Karena dalam tidur ,orang lupa segalanya, sudah tidak sadar. Maka ada orang tua yang mengatakan bahwa tidur itu saudaranya mati. Cobalah direnungkan.
Bagi yang sudah dewasa, melakukan sanggama juga supaya pakai ukuran, jangan terlalu sering dan dilakukan hanya dengan pasangan resminya.
Selama hidup supaya bekerja dengan baik, yang positif sifatnya, suka menolong sesama, berbudi pekerti luhur dan selalu manembah kepada Tuhan Yang Maha Welas Asih.
Kalau itu semua sudah mampu dilalui, barulah punya kemampuan untuk mempelajari Sastra Jendra, pengetahuan spiritual yang tinggi tatarannya.
Kalimat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, inti artinya adalah : Manusia yang samadinya diterima Gusti! Sungguh sederhana maksudnya, pada saat ini, karena sekarang adalah masanya Sastra Ceta – pengetahuan yang jelas terbuka, tidak lagi ditutup- tutupi atau dirahasiakan.
Jelas sekarang maksudnya bahwa orang yang sudah menguasai Sastra Jendra adalah manusia yang telah mengetahui jati dirinya, telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya/Higher- Self,yang telah Mengetahui Kasunyataaning Urip, Kehidupan Sejati, Realitas Kehidupan lahir batin.
Seorang spiritualis yang telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya atau yang telah berhasil berkumpul kembali dengan pribadi Sejatinya, Higher Self-nya sehingga mengetahui rahasia kehidupan, tentu tidak akan menyia-nyiakan hidupnya didunia ini .Dengan kesadaran spiritualnya yang sejati dia akan selalu berbuat positif konstruktif, menolong sesama dan aktif memelihara planet bumi, istilah Kejawennya: Memayu Hayuning Sesama lan Buwono.
Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;
Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia…
Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian),Bagi sseorang yang mengimplementasikan perbuatan dalam koridor “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” biasanya berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, merasakan sejatinya wahana Tuhan YME. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya
Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang spiritualis. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.
Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat
Wednesday, December 23, 2009
Tuesday, December 22, 2009
Sastra Djendra 6 - Moel
Dengan menitisnya Resi Wisnu Anjali, maka lahirlah dari kandungan Dewi Sukesi seorang bayi lelaki yang berwajah sangat tampan. Dari dahinya memancar cahaya keputihan dan sinar matanya sangat jernih. Sebagai seorang brahmana yang sudah mencapai tatanan kesempurnaan, Resi Wisrawa dapat membaca tanda-tanda tersebut, bahwa putra bungsunya itu kelak akan menjadi seorang satria yang cendekiawan serta berwatak arif bijaksana. la kelak akan menjadi seorang satria yang berwatak brahmana. Karena tanda-tanda tersebut, Resi Wisrawa memberi nama putra bungsunya itu, Gunawan Wibisana.
Karena wajahnya yang tampan dan budi pekertinya yang baik, Wibisana menjadi anak kesayangan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dengan ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berujud raksasa, Kumbakarna memiliki watak dan budi yang luhur, yang selalu berusaha mencari kesempurnaan hidup.
Begawan Wisrawa masi h punya dendam sebelum melamar dewi Sukesih dia pernah dikalhkan oleh Jambu mangli seorang yang sangat sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih,. Waktu para raja datang melamar Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia. Datang kehadapan Begawan Wisrawa.
semua kemampuan dan senjata di keluarkan untuk membunuh resi, tapi tidak dirasa oleh resi /begawan Wisrawa karena saat ini wisrawa sudah dapat mengendalikan imosinya dan dengan kekuatan sepiritualnya dia dapat membunuh Jambu mangli.
Berbulan-bulan hingga beberapa tahun di Lokapala Danaraja menunggu datangnya sang ayah yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah mendengar kabar bahwa sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh Resi Wisrawa. Sampai suatu saat Wisrawa dan Sukesi sampai Lokapala. Sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah yang kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang itu tampak pudar. Danaraja, merasa mendapatkan suasana yang tidak nyaman, kemudian bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya, Wisrawa menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan secara terus terang mengakui segala dosa dan kesalahannya. Namun kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang amat teramat fatal dimata Danaraja. Mendengar penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat kecewa dan marah besar. Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya tega mencederai hati putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung. maka diusirlah begawan Wiswara dan Dewi Sukesi dari Lokapala.
Beberapa tahun telah berlalu hingga anak-anak Wiswara dan Sukesi telah dewasa namun di sisi lain
Prabu Danaraja masih memendam rasa kemarahan dan dendam yang sangat mendalam kepada ayahnya. Hingga detik ini dia masih tidak dapat menerima perlakuan ayahnya yang dianggapnya mengkhianati dharma bhaktinya sebagai anak. Sang Resi Wisrawa sebagai ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah dengan tulus murni dari dalam bathin yang paling dalam memberikan cinta dan kehormatan pada ayah kandung junjungannya.
Rasa ini benar-benar tak dapat ia tahan hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh bala tentara Lokapala dan memimpinnya sendiri untuk menyerang Alengka dan membunuh ayahnya sendiri yang sudah tidak memiliki kehormatan lagi dimatanya. Alengka dan Lokapala bentrok dan terjadi pertumpahan darah. Pertumpahan darah yang ditujukan hanya untuk dendam seorang anak pada ayahnya.
Resi Wisrawa tidak dapat diam melihat semua ini. Ribuan nyawa prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang telah penuh dengan dosa. Wisrawa segera turun ke tengah pertempuran dan menghentikan semuanya. Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya sendiri. Dengan mata penuh dendam, Danaraja mengibaskan pedang senjatanya ke badan Wisrawa. Darah mengucur deras, Wisrawa roboh di tengah-tengah para prajurit kedua negara.
Melihat Resi Wisrawa tewas dalam peperangan melawan Prabu Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk membalas dendam kematian suaminya. Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh Dewi Sukesi. Kepada keempat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti Rawarontek. Untuk dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Danaraja. Mereka harus pergi bertapa, mohon anugrah Dewata agar diberi kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja, yang sesungguhnya masih saudara satu ayah mereka sendiri, sebagai bekal menuntut balas atas kematian ayah mereka. Berangkatlah mereka melaksanakan perintah ibunya.
Karena wajahnya yang tampan dan budi pekertinya yang baik, Wibisana menjadi anak kesayangan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dengan ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berujud raksasa, Kumbakarna memiliki watak dan budi yang luhur, yang selalu berusaha mencari kesempurnaan hidup.
Begawan Wisrawa masi h punya dendam sebelum melamar dewi Sukesih dia pernah dikalhkan oleh Jambu mangli seorang yang sangat sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih,. Waktu para raja datang melamar Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia. Datang kehadapan Begawan Wisrawa.
semua kemampuan dan senjata di keluarkan untuk membunuh resi, tapi tidak dirasa oleh resi /begawan Wisrawa karena saat ini wisrawa sudah dapat mengendalikan imosinya dan dengan kekuatan sepiritualnya dia dapat membunuh Jambu mangli.
Berbulan-bulan hingga beberapa tahun di Lokapala Danaraja menunggu datangnya sang ayah yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah mendengar kabar bahwa sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh Resi Wisrawa. Sampai suatu saat Wisrawa dan Sukesi sampai Lokapala. Sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah yang kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang itu tampak pudar. Danaraja, merasa mendapatkan suasana yang tidak nyaman, kemudian bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya, Wisrawa menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan secara terus terang mengakui segala dosa dan kesalahannya. Namun kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang amat teramat fatal dimata Danaraja. Mendengar penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat kecewa dan marah besar. Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya tega mencederai hati putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung. maka diusirlah begawan Wiswara dan Dewi Sukesi dari Lokapala.
Beberapa tahun telah berlalu hingga anak-anak Wiswara dan Sukesi telah dewasa namun di sisi lain
Prabu Danaraja masih memendam rasa kemarahan dan dendam yang sangat mendalam kepada ayahnya. Hingga detik ini dia masih tidak dapat menerima perlakuan ayahnya yang dianggapnya mengkhianati dharma bhaktinya sebagai anak. Sang Resi Wisrawa sebagai ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah dengan tulus murni dari dalam bathin yang paling dalam memberikan cinta dan kehormatan pada ayah kandung junjungannya.
Rasa ini benar-benar tak dapat ia tahan hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh bala tentara Lokapala dan memimpinnya sendiri untuk menyerang Alengka dan membunuh ayahnya sendiri yang sudah tidak memiliki kehormatan lagi dimatanya. Alengka dan Lokapala bentrok dan terjadi pertumpahan darah. Pertumpahan darah yang ditujukan hanya untuk dendam seorang anak pada ayahnya.
Resi Wisrawa tidak dapat diam melihat semua ini. Ribuan nyawa prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang telah penuh dengan dosa. Wisrawa segera turun ke tengah pertempuran dan menghentikan semuanya. Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya sendiri. Dengan mata penuh dendam, Danaraja mengibaskan pedang senjatanya ke badan Wisrawa. Darah mengucur deras, Wisrawa roboh di tengah-tengah para prajurit kedua negara.
Melihat Resi Wisrawa tewas dalam peperangan melawan Prabu Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk membalas dendam kematian suaminya. Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh Dewi Sukesi. Kepada keempat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti Rawarontek. Untuk dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Danaraja. Mereka harus pergi bertapa, mohon anugrah Dewata agar diberi kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja, yang sesungguhnya masih saudara satu ayah mereka sendiri, sebagai bekal menuntut balas atas kematian ayah mereka. Berangkatlah mereka melaksanakan perintah ibunya.
Sastra Djendra 5 - Moel
Sastra Jendra adalah ilmu puncak yang hanya boleh diketahui dan dipakai para dewata, tidak boleh diketahui dan digunakan oleh manusia.Yang bermakna : Ilmunya para dewa untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dengan
cara membebaskan diri ( pangruwat) dari kebutaan sehingga mampu membedakan yang baik dengan yang buruk.( diyu).
memang sarat dengan kalimat-kalimat yang samar atau memang sengaja dibuat samar. Sehingga hanya orang yang sungguh-sungguh serius belajar yang bisa menemukan.
orang yang sudah menguasai Sastra Jendra adalah manusia yang telah mengetahui jati dirinya, telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya/Higher- Self,yang telah Mengetahui Kasunyataaning Urip, Kehidupan Sejati, Realitas Kehidupan lahir batin.
Karena peristiwa pengajaran tersebut, menurut Hyang Guru (manikmaya) maka Wisrawa harus menerima pameleh . Hyang Guru manunggal dengan Wisrawa dan Dewi Uma dengan Sukesi. maka oleh karenanya Sukesi jatuh hati pada Wisrawa walaupun berulang diingatkan bahwa Wisrawa adalah calon mertuanya.
Api asmara dikobarkan antara keduanya, hingga terjadilah peristiwa terlarang itu sebelum ilmu Sastrajendra Hayuningrat Panguwating Diyu utuh dijabarkan Wisrawa pada Sukesi , baru sampai tingkat pembuka saja.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Sang Penguasa Alam. Ketiga bayi itu lahir diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar. Auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam mengiringi kelahiran ketiga bayi yang diberi nama Rahwana, Sarpakenaka dan Kumbakarna. Dengan kepasrahan yang mendalam, Wisrawa dan Sukesi membawa ketiga anak-anaknya ke Istana Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu yang baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Wisrawa dan Sukesi membesarkan ketiga putra-putri mereka dengan setulus hati.
Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana tampak semakin perkasa dan menonjol diantara kedua adik-adiknya. Kelakuannya kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma menjadi raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka selalu mencari pria siapa saja dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Ia juga memiliki sifat dan pribadi yang luhur. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri Kumbakarna.
Namun perasaan gundah dan sedih menggelayut di relung hati Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang keempat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau raseksi? Dosa apakah yang telah mereka lakukan? Ataukah akibat dari gejolak nafsu yang tak terkendali sebagai akibat penjabaran Ilmu Sastrajendra Hayuningrat yang telah dilakukan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi?
Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Resi Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, istrinya untuk bersemadi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati, yang kini menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat kesempurnaan, Resi Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk melakukan semadi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Dewata Agung. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya bersamadi, doa permohonan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi diterima oleh Dewata Agung. Setelah bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi.
cara membebaskan diri ( pangruwat) dari kebutaan sehingga mampu membedakan yang baik dengan yang buruk.( diyu).
memang sarat dengan kalimat-kalimat yang samar atau memang sengaja dibuat samar. Sehingga hanya orang yang sungguh-sungguh serius belajar yang bisa menemukan.
orang yang sudah menguasai Sastra Jendra adalah manusia yang telah mengetahui jati dirinya, telah ketemu dengan Pribadi Sejatinya/Higher- Self,yang telah Mengetahui Kasunyataaning Urip, Kehidupan Sejati, Realitas Kehidupan lahir batin.
Karena peristiwa pengajaran tersebut, menurut Hyang Guru (manikmaya) maka Wisrawa harus menerima pameleh . Hyang Guru manunggal dengan Wisrawa dan Dewi Uma dengan Sukesi. maka oleh karenanya Sukesi jatuh hati pada Wisrawa walaupun berulang diingatkan bahwa Wisrawa adalah calon mertuanya.
Api asmara dikobarkan antara keduanya, hingga terjadilah peristiwa terlarang itu sebelum ilmu Sastrajendra Hayuningrat Panguwating Diyu utuh dijabarkan Wisrawa pada Sukesi , baru sampai tingkat pembuka saja.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Sang Penguasa Alam. Ketiga bayi itu lahir diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar. Auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam mengiringi kelahiran ketiga bayi yang diberi nama Rahwana, Sarpakenaka dan Kumbakarna. Dengan kepasrahan yang mendalam, Wisrawa dan Sukesi membawa ketiga anak-anaknya ke Istana Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu yang baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Wisrawa dan Sukesi membesarkan ketiga putra-putri mereka dengan setulus hati.
Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana tampak semakin perkasa dan menonjol diantara kedua adik-adiknya. Kelakuannya kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma menjadi raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka selalu mencari pria siapa saja dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Ia juga memiliki sifat dan pribadi yang luhur. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri Kumbakarna.
Namun perasaan gundah dan sedih menggelayut di relung hati Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang keempat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau raseksi? Dosa apakah yang telah mereka lakukan? Ataukah akibat dari gejolak nafsu yang tak terkendali sebagai akibat penjabaran Ilmu Sastrajendra Hayuningrat yang telah dilakukan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi?
Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Resi Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, istrinya untuk bersemadi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati, yang kini menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat kesempurnaan, Resi Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk melakukan semadi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Dewata Agung. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya bersamadi, doa permohonan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi diterima oleh Dewata Agung. Setelah bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi.
Sunday, December 20, 2009
Sastra Djendra 4 - Moel
pambukkan ilmu sejati sastra jendra yang agung sudah ternodai inilah pembukaan agung itu
Energi dalam tubuh manusia berpusat disekitar pusar. Pembangkitnya berada di situ. Lalu, biasanya ada dua kemungkinan. Mengalir ke bawah, atau mengalir ke atas. Jika mengalir ke bawah, instink-instink hewani dalam diri manusia akan terstimuli. Instink-instink hewani yang kita warisi berkat evolusi panjang itu akan bangkit kembali dan mencari mangsanya. Kemudian, demi kenyamanan diri, kita bisa mencelakakan apa saja. Sebaliknya, jika mengalir ke atas, energi itu akan membuat anda menjadi lebih kreatif dan konstruktif. Anda akan menjadi unik, orisinil dan karena itu anda akan menjadi berkah bagi lingkungan sekitar anda
Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.
Ucapan-ucapan seperti, “Aku sudah pasrah. Aku sudah berserah diri sepenuhnya” hanya menunjukkan betapa naifnya kita. Di balik ucapan-ucapan kita seperti itu masih ada keinginan terselubung, untuk menonjolkan diri kita. Kepasrahan kita membutuhkan pengakuan orang lain. Ego kita masih tetap ada. Dan selama masih ada ego, tidak ada cinta, tidak akan ada kasih
Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan” sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari belenggu keterikatan.”
Mereka yang jiwanya telah mati sibuk mencari kehidupan. Mereka yang jiwanya hidup mengejar kematian. Suatu paradoks tetapi Begitulah adanya. Apabila anda tidak merasa hidup, Anda akan selalu mengejar kehidupan. Apabila Anda tidak merasa sehat, Anda akan mengejar kesehatan. Apa pun yang Anda rasakan tidak “ada” dalam diri Anda, akan Anda kejar. Anda akan membanting tulang untuk memperolehnya. Sebaliknya, mereka yang merasakan dirinya hidup, mereka yang telah mengenal kehidupan dari dekat, mereka yang telah puas menjalani kehidupan tidak akan mengejar kehidupan lagi. Mereka yang sehat tidak mengejar kesehatan
Kita berada dalam keindahan cinta. Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan, tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri, integensia setiap manusia.”
“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu dirayakan.”
“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti. Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan.”
Cinta tidak bertujuan, tak akan pernah bertujuan. Mereka yang belum kenal cinta selalu bingung. Mereka tidak dapat membayangkan suatu “tindakan” tanpa tujuan. Cinta yang ada pamrihnya, yang bersyarat, bukan cinta lagi. Lakukan introspeksi diri selama ini apakah Anda mencintai Allah? Jangankan pengorbanan dalam cinta, selama ini mungkin cinta pun belum pernah menyentuh jiwa kita, ruh kita, batin kita. Dan apabila kita belum mencicipi manisnya Kasih Allah, manisnya Cinta Tuhan, selama itu pula kita akan selalu berkiblat pada dunia benda pada segala sesuatu yang fana, yang semu. Berkorban dalam Cinta Allah berarti menolak segala sesuatu yang fana. Dengan Cinta, dan hanya Cinta saja yang dapat menyingkirkan bayangan gelap dari yang bukan Allah itu. Dengan Cinta dan Cinta saja, jiwa manusia dapat memenangkan kembali sumber kesucian itu dan menemukan tujuan utama yaitu penyatuan kembali dengan kebenaran
Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka.
Energi dalam tubuh manusia berpusat disekitar pusar. Pembangkitnya berada di situ. Lalu, biasanya ada dua kemungkinan. Mengalir ke bawah, atau mengalir ke atas. Jika mengalir ke bawah, instink-instink hewani dalam diri manusia akan terstimuli. Instink-instink hewani yang kita warisi berkat evolusi panjang itu akan bangkit kembali dan mencari mangsanya. Kemudian, demi kenyamanan diri, kita bisa mencelakakan apa saja. Sebaliknya, jika mengalir ke atas, energi itu akan membuat anda menjadi lebih kreatif dan konstruktif. Anda akan menjadi unik, orisinil dan karena itu anda akan menjadi berkah bagi lingkungan sekitar anda
Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.
Ucapan-ucapan seperti, “Aku sudah pasrah. Aku sudah berserah diri sepenuhnya” hanya menunjukkan betapa naifnya kita. Di balik ucapan-ucapan kita seperti itu masih ada keinginan terselubung, untuk menonjolkan diri kita. Kepasrahan kita membutuhkan pengakuan orang lain. Ego kita masih tetap ada. Dan selama masih ada ego, tidak ada cinta, tidak akan ada kasih
Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan” sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari belenggu keterikatan.”
Mereka yang jiwanya telah mati sibuk mencari kehidupan. Mereka yang jiwanya hidup mengejar kematian. Suatu paradoks tetapi Begitulah adanya. Apabila anda tidak merasa hidup, Anda akan selalu mengejar kehidupan. Apabila Anda tidak merasa sehat, Anda akan mengejar kesehatan. Apa pun yang Anda rasakan tidak “ada” dalam diri Anda, akan Anda kejar. Anda akan membanting tulang untuk memperolehnya. Sebaliknya, mereka yang merasakan dirinya hidup, mereka yang telah mengenal kehidupan dari dekat, mereka yang telah puas menjalani kehidupan tidak akan mengejar kehidupan lagi. Mereka yang sehat tidak mengejar kesehatan
Kita berada dalam keindahan cinta. Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan, tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri, integensia setiap manusia.”
“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu dirayakan.”
“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti. Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan.”
Cinta tidak bertujuan, tak akan pernah bertujuan. Mereka yang belum kenal cinta selalu bingung. Mereka tidak dapat membayangkan suatu “tindakan” tanpa tujuan. Cinta yang ada pamrihnya, yang bersyarat, bukan cinta lagi. Lakukan introspeksi diri selama ini apakah Anda mencintai Allah? Jangankan pengorbanan dalam cinta, selama ini mungkin cinta pun belum pernah menyentuh jiwa kita, ruh kita, batin kita. Dan apabila kita belum mencicipi manisnya Kasih Allah, manisnya Cinta Tuhan, selama itu pula kita akan selalu berkiblat pada dunia benda pada segala sesuatu yang fana, yang semu. Berkorban dalam Cinta Allah berarti menolak segala sesuatu yang fana. Dengan Cinta, dan hanya Cinta saja yang dapat menyingkirkan bayangan gelap dari yang bukan Allah itu. Dengan Cinta dan Cinta saja, jiwa manusia dapat memenangkan kembali sumber kesucian itu dan menemukan tujuan utama yaitu penyatuan kembali dengan kebenaran
Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka.
Thursday, December 17, 2009
Sastra Djendra 3 - Moel
Wejangan dilakukan disuatu tempat.khusus diistana, yang tidak bisa didengar dan dilihat orang. Yang ada hanya Wisrawa dengan Sukesi, dua-duanya duduk bersila berhadapan dilantai yang digelari permadani.dan ditaburi harumnya bunga melati serta bau dupa yang harum dan selaras dengan ritme wejangan sang wisrawa yang membawakannya dengan lembut penuh perasaan.
Pada mulanya, wejangan berjalan sangat serius, dengan menggunakan lantunan kalimat yang enak dengan suara lirih. Wisrawa berkata dengan hati-hati supaya tidak salah, Sukesi mendengarkan dengan cermat. Uraian terus berlanjut, kadang-kadang Sukesi menyela dengan bertanya. Wisrawa tahu dari caranya dan pertanyaan yang diajukan oleh Sukesi sebenarnya Sukesi sudah tahu Sastra Jendra.
Lama-lama, kekakuan dalam komunikasi lenyap, lalu menjadi lebih luwes, terkadang diselingi senyuman dan saling curi pandang.disertai aliran darah yang merona diwajah Sukesi kadang-kadang mendesah lirih bila wejangannya menai hatinya
Sukesi mulai mengagumi pria yang berbicara dengan sopan, manis dan berbobot, yang duduk dihadapannya.Logat bicaranya amat menarik, gerakan tubuh, bibir ,sorot matanya dan tangannya lebih mempertegas uraian yang diberikan dengan jelas.Dari pandangan-pandangan sekilas yang diarahkan kewajahnya, tak pelak lagi pria ini ganteng sekali pikir Sukesi.Belum pernah sebelumnya Sukesi bertemu dengan pria yang pintar dan sekaligus tampan seperti ini.perasaannya mulai bercampur baur disertai dengan derunya asmara
alunan dendang cinta pun bersambut ,Wisrawa dalam hati memuji Sukesi. “Waduh-waduh, putri raja yang dihadapkanku ini cantik luar biasa , sorot matanya indah , pandang tak jemu lah dan lagi luas wawasannya dan pandai sekali” Mula-mula dia masih berpikir bahwa Sukesi sangat cocok untuk menjadi permaisuri putranya,. Oleh karena itu, hatinya senang dan dia banyak tersenyum supaya lamaran bagi anaknya disetujui oleh Sukesi.Meskipun, kadang-kadang pikirannya mulai melenceng membayangkan belaian tanganya lembut di kulit yang halus: “Ah, belum pernah aku ketemu perawan secantik ini, wajahnya bercahaya lembut, tubuhnya indah, tutur kata indah dan menarik bagai intan permata.Oh alangkah bahagianya bila aku bisa membelainya”..Tapi dalam sekejap ,Wisrawa mampu menepis goda pikir itu dan kembali rasional kepada misi yang diembannya.
Penguraian Sastra Jendra baru pada tahapan pembuka, keduanya mulai lebih banyak berkomunikasi, lebih bebas bicaranya.. Entah bagaimana mulanya, kedua pihak saling tertarik. Rasa saling tertarik merasuk dalam kedalam hati pria dan wanita yang hanya berdua ditempat sepi.
Keduanya dirasuki kobaran nafsu asmara yang menggelora. Tidak ada lagi basa basi, ewuh pakewuh-rintangan sopan santun dan tata susila, atas nama asmara ,segalanya bisa dilakukan.
Hanya sejenak bertemu dan berkenalan, Wisrawa dan Dewi Sukesi cepat larut dalam pelayaran memadu kasih yang meledak-ledak, kenikmatan nafsu yang tak terkendali. Mereka secepat kilat terlibat dalam Love Affairs- hubungan cinta antara seorang calon mertua dengan seorang calon menantu.
Nafsu yang lepas kendali, telah berhasil mengalahkan pikiran jernih. lupa akan jati dirinya dan misi yang di embannya dan terjadilah olah asmara yang indah bak dunia ini milik kita berdua
Pada mulanya, wejangan berjalan sangat serius, dengan menggunakan lantunan kalimat yang enak dengan suara lirih. Wisrawa berkata dengan hati-hati supaya tidak salah, Sukesi mendengarkan dengan cermat. Uraian terus berlanjut, kadang-kadang Sukesi menyela dengan bertanya. Wisrawa tahu dari caranya dan pertanyaan yang diajukan oleh Sukesi sebenarnya Sukesi sudah tahu Sastra Jendra.
Lama-lama, kekakuan dalam komunikasi lenyap, lalu menjadi lebih luwes, terkadang diselingi senyuman dan saling curi pandang.disertai aliran darah yang merona diwajah Sukesi kadang-kadang mendesah lirih bila wejangannya menai hatinya
Sukesi mulai mengagumi pria yang berbicara dengan sopan, manis dan berbobot, yang duduk dihadapannya.Logat bicaranya amat menarik, gerakan tubuh, bibir ,sorot matanya dan tangannya lebih mempertegas uraian yang diberikan dengan jelas.Dari pandangan-pandangan sekilas yang diarahkan kewajahnya, tak pelak lagi pria ini ganteng sekali pikir Sukesi.Belum pernah sebelumnya Sukesi bertemu dengan pria yang pintar dan sekaligus tampan seperti ini.perasaannya mulai bercampur baur disertai dengan derunya asmara
alunan dendang cinta pun bersambut ,Wisrawa dalam hati memuji Sukesi. “Waduh-waduh, putri raja yang dihadapkanku ini cantik luar biasa , sorot matanya indah , pandang tak jemu lah dan lagi luas wawasannya dan pandai sekali” Mula-mula dia masih berpikir bahwa Sukesi sangat cocok untuk menjadi permaisuri putranya,. Oleh karena itu, hatinya senang dan dia banyak tersenyum supaya lamaran bagi anaknya disetujui oleh Sukesi.Meskipun, kadang-kadang pikirannya mulai melenceng membayangkan belaian tanganya lembut di kulit yang halus: “Ah, belum pernah aku ketemu perawan secantik ini, wajahnya bercahaya lembut, tubuhnya indah, tutur kata indah dan menarik bagai intan permata.Oh alangkah bahagianya bila aku bisa membelainya”..Tapi dalam sekejap ,Wisrawa mampu menepis goda pikir itu dan kembali rasional kepada misi yang diembannya.
Penguraian Sastra Jendra baru pada tahapan pembuka, keduanya mulai lebih banyak berkomunikasi, lebih bebas bicaranya.. Entah bagaimana mulanya, kedua pihak saling tertarik. Rasa saling tertarik merasuk dalam kedalam hati pria dan wanita yang hanya berdua ditempat sepi.
Keduanya dirasuki kobaran nafsu asmara yang menggelora. Tidak ada lagi basa basi, ewuh pakewuh-rintangan sopan santun dan tata susila, atas nama asmara ,segalanya bisa dilakukan.
Hanya sejenak bertemu dan berkenalan, Wisrawa dan Dewi Sukesi cepat larut dalam pelayaran memadu kasih yang meledak-ledak, kenikmatan nafsu yang tak terkendali. Mereka secepat kilat terlibat dalam Love Affairs- hubungan cinta antara seorang calon mertua dengan seorang calon menantu.
Nafsu yang lepas kendali, telah berhasil mengalahkan pikiran jernih. lupa akan jati dirinya dan misi yang di embannya dan terjadilah olah asmara yang indah bak dunia ini milik kita berdua
Wednesday, December 16, 2009
Sastra Djendra 2 - Moel
Sementara itu di kerajaan Lokapala, baru saja menobatkan putra mahkota menjadi raja baru.
Raja yang baru diwisuda adalah Raja Danaraja, menggantikan ayahandanya yang seleh keprabon – dengan sukarela turun tahta.
Yang baru saja turun tahta adalah Wisrawa, sewaktu memerintah dia termasuk raja yang brilian, pandai, bijak, adil, sehingga seluruh negeri dan kawula merasa hidup berkecukupan, tentram dan sejahtera.Selain itu, dia adalah raja yang mampu melindungi rakyat dan negerinya. Segala perintahnya selalu diturut oleh punggawa dan kawula negeri.
Sudah cukup lama dia memerintah, keadaan negeri makmur dan stabil. Dia juga sudah mempersiapkan penggantinya, yang tak lain adalah putra kandungnya sendiri, yang juga menguasai ilmu pemerintahan dengan baik dan selalu bersikap korekt dalam bekerja dan dalam pergaulan.
Sebenarnya, Wisrawa belum begitu tua, dia masih termasuk paruh baya. Tetapi dia sudah merasa cukup mengenyam kehidupan duniawi yang sukses. Sebagai raja dia banyak terlibat dalam urusan negara sehari-harinya dan meskipun penguasa diapun mesti mengikuti aturan protokoler kerajaan, sehingga dia merasa tidak bebas.
Dia ingin hidup yang lebih merdeka, dia ingin menjadi kawula biasa, supaya bisa pergi dengan bebas kemanapun. Dia bukannya mau jadi tukang kluyuran, tetapi dia telah berketetapan hati untuk mendalami kehidupan spiritual, istilah yang dipakai waktu itu adalah mau jumeneng pandhito – menjadi seorang pendeta.Dihari tuanya, dia ingin membersihkan jalan kehidupannya dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan dan mengamalkan pengetahuan spiritualnya kepada sesama mahluk Tuhan yang terpanggil.Sebenarnya kawruh sejati-pengetahuan spiritual Wisrawa sudah tinggi, dia adalah salah satu manusia yang sudah tergembleng jiwanya, sudah mengetahui hidup sejati, sudah menguasai Sastra Jendra. Oleh karena itu dia sangat bijak dalam memerintah.
Sebelum memasuki hidup sebagai pendeta, dia harus masih menyelesaikan tugas terakhir kerajaan.
Danaraja, putranya yang telah menjadi raja belum punya pendamping, belum punya permaisuri, meskipun umurnya sudah mendekati seperempat abad.Memang Danaraja pada waktu mudanya termasuk pemuda yang alim, banyak belajar, banyak bekerja.
Wisrawa berbicara serius dengan Danaraja dan memberi saran supaya Danaraja segera menikah dan punya permaisuri. Selain tidak baik bagi seorang raja hidup sendirian, juga demi suksesi masa depan.
Danaraja ternyata tidak punya rencana apapun untuk menikah, dia belum punya calon. Wisrawa yang waskita mengusulkan supaya putranya melamar putri raja Alengkadiraja, Dewi Sukesi yang kondang cantik jelita dan baik hatinya.Untuk itu Danaraja menurut kepada nasihat ayahandanya yang sangat dihormatinya dan dia percaya pilihan ayahnya tentu tidak keliru.
Sesuai dengan ketentuan saat itu, lamaran raja haruslah diwakili oleh seorang delegasi yang ditunjuk oleh raja.Raja tak pelak lagi mempercayai ayahnya untuk melaksanakan lamaran, selain itu Wisrawa juga kenal baik dengan Prabu Sumali, ayah Sukesi. Diharapkan segalanya berjalan lancar dan lamaran diterima, lalu terjadi perkawinan agung antara Raja Danaraja dengan Dewi Sukesi.
Dengan sopan, Wisrawa sebagai utusan Raja Lokapala, Danaraja menghadap Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi.Maksudnya hanya satu, yaitu melamar Dewi Sukesi supaya mau menjadi istri dan permaisuri dari Danaraja.
Prabu Sumali sebagai orang yang waskita , mengerti bahwa Wisrawa adalah juga orang waskita.
Oleh karena itu, dia menjawab Wisrawa dengan bahasa yang sopan dan langsung menyangkut intinya.Dengan ringkas dikatakannya bahwa Dewi Sukesi akan menerima pelamar yang sudah menguasai Sastra Jendra, kalau belum ,lebih baik jangan melamar.
Dengan rendah hati Wisrawa mengatakan kalau dia sudah menguasai Sastra Jendra dan hal ini sebenarnya juga sudah diketahui oleh Prabu Sumali.
Sebagai syarat formal dan ini ketentuan dari Dewi Sukesi, pelamar yang mengaku sudah menguasai Sastra Jendra harus membuktikannya langsung kepada Dewi Sukesi dengan cara memberi wedaran- uraian dari pengetahuan itu. Karena ini menyangkut pengetahuan piningit- termasuk rahasia dewa, maka wejangannya tidak boleh didengar oleh siapapun. Wisrawa menurut apa yang ditentukan, supaya pinangan anaknya bisa diterima. Lebih cepat lebih baik.
wejangan satra jendra pun segera dimulai ditempat yang tersembunyi diruangan tertutup.
Raja yang baru diwisuda adalah Raja Danaraja, menggantikan ayahandanya yang seleh keprabon – dengan sukarela turun tahta.
Yang baru saja turun tahta adalah Wisrawa, sewaktu memerintah dia termasuk raja yang brilian, pandai, bijak, adil, sehingga seluruh negeri dan kawula merasa hidup berkecukupan, tentram dan sejahtera.Selain itu, dia adalah raja yang mampu melindungi rakyat dan negerinya. Segala perintahnya selalu diturut oleh punggawa dan kawula negeri.
Sudah cukup lama dia memerintah, keadaan negeri makmur dan stabil. Dia juga sudah mempersiapkan penggantinya, yang tak lain adalah putra kandungnya sendiri, yang juga menguasai ilmu pemerintahan dengan baik dan selalu bersikap korekt dalam bekerja dan dalam pergaulan.
Sebenarnya, Wisrawa belum begitu tua, dia masih termasuk paruh baya. Tetapi dia sudah merasa cukup mengenyam kehidupan duniawi yang sukses. Sebagai raja dia banyak terlibat dalam urusan negara sehari-harinya dan meskipun penguasa diapun mesti mengikuti aturan protokoler kerajaan, sehingga dia merasa tidak bebas.
Dia ingin hidup yang lebih merdeka, dia ingin menjadi kawula biasa, supaya bisa pergi dengan bebas kemanapun. Dia bukannya mau jadi tukang kluyuran, tetapi dia telah berketetapan hati untuk mendalami kehidupan spiritual, istilah yang dipakai waktu itu adalah mau jumeneng pandhito – menjadi seorang pendeta.Dihari tuanya, dia ingin membersihkan jalan kehidupannya dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan dan mengamalkan pengetahuan spiritualnya kepada sesama mahluk Tuhan yang terpanggil.Sebenarnya kawruh sejati-pengetahuan spiritual Wisrawa sudah tinggi, dia adalah salah satu manusia yang sudah tergembleng jiwanya, sudah mengetahui hidup sejati, sudah menguasai Sastra Jendra. Oleh karena itu dia sangat bijak dalam memerintah.
Sebelum memasuki hidup sebagai pendeta, dia harus masih menyelesaikan tugas terakhir kerajaan.
Danaraja, putranya yang telah menjadi raja belum punya pendamping, belum punya permaisuri, meskipun umurnya sudah mendekati seperempat abad.Memang Danaraja pada waktu mudanya termasuk pemuda yang alim, banyak belajar, banyak bekerja.
Wisrawa berbicara serius dengan Danaraja dan memberi saran supaya Danaraja segera menikah dan punya permaisuri. Selain tidak baik bagi seorang raja hidup sendirian, juga demi suksesi masa depan.
Danaraja ternyata tidak punya rencana apapun untuk menikah, dia belum punya calon. Wisrawa yang waskita mengusulkan supaya putranya melamar putri raja Alengkadiraja, Dewi Sukesi yang kondang cantik jelita dan baik hatinya.Untuk itu Danaraja menurut kepada nasihat ayahandanya yang sangat dihormatinya dan dia percaya pilihan ayahnya tentu tidak keliru.
Sesuai dengan ketentuan saat itu, lamaran raja haruslah diwakili oleh seorang delegasi yang ditunjuk oleh raja.Raja tak pelak lagi mempercayai ayahnya untuk melaksanakan lamaran, selain itu Wisrawa juga kenal baik dengan Prabu Sumali, ayah Sukesi. Diharapkan segalanya berjalan lancar dan lamaran diterima, lalu terjadi perkawinan agung antara Raja Danaraja dengan Dewi Sukesi.
Dengan sopan, Wisrawa sebagai utusan Raja Lokapala, Danaraja menghadap Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi.Maksudnya hanya satu, yaitu melamar Dewi Sukesi supaya mau menjadi istri dan permaisuri dari Danaraja.
Prabu Sumali sebagai orang yang waskita , mengerti bahwa Wisrawa adalah juga orang waskita.
Oleh karena itu, dia menjawab Wisrawa dengan bahasa yang sopan dan langsung menyangkut intinya.Dengan ringkas dikatakannya bahwa Dewi Sukesi akan menerima pelamar yang sudah menguasai Sastra Jendra, kalau belum ,lebih baik jangan melamar.
Dengan rendah hati Wisrawa mengatakan kalau dia sudah menguasai Sastra Jendra dan hal ini sebenarnya juga sudah diketahui oleh Prabu Sumali.
Sebagai syarat formal dan ini ketentuan dari Dewi Sukesi, pelamar yang mengaku sudah menguasai Sastra Jendra harus membuktikannya langsung kepada Dewi Sukesi dengan cara memberi wedaran- uraian dari pengetahuan itu. Karena ini menyangkut pengetahuan piningit- termasuk rahasia dewa, maka wejangannya tidak boleh didengar oleh siapapun. Wisrawa menurut apa yang ditentukan, supaya pinangan anaknya bisa diterima. Lebih cepat lebih baik.
wejangan satra jendra pun segera dimulai ditempat yang tersembunyi diruangan tertutup.
Sastra Djendra 1 - Moel
Prabu Sumali yang tadinya raksasa/buto telah menjadi seorang manusia dan memerintah negerinya dengan bijak. Ia disenangi dan dihormati rakyatnya dan raja-raja negeri tetangga.
Putrinya, Dewi Sukesi, yang tadinya raksasi, telah berubah menjadi seorang putri ayu yang luar biasa cantiknya, hatinya lembut, sopan dan merdu tutur katanya.
Keanggunannya kondang melewati batas negerinya. Banyak satria dan raja yang meminangnya, tetapi dengan halus semua ditolak.Padahal semua peminang berjanji untuk membahagiakannya, menawarkan perhiasan-perhiasan emas permata yang amat mahal, hidupnya akan bergelimang harta.
Meski zaman kuno, Prabu Sumali berpikiran maju. Dalam hal cinta, dia tidak mau memaksa putrinya, dia percaya bahwa putrinya cukup arif untuk menentukan sendiri jodoh pilihannya.
Syarat utama supaya pinangannya diterima bukanlah pemberian harta berlimpah dan mas picis rajabrana- uang mas dan perhiasan-perhiasan berlian indah dan mahal. Bukan pula pemberian tanah atau negeri yang luas, bukan pula kedudukan serta kekuasaan.
Yang bakalan menjadi suaminya adalah seorang pria yang telah menguasai Sastra Jendra. Lalu apa itu Sastra Jendra? Tentu banyak orang yang tidak tahu Sastra Jendra, mungkin mendengar saja belum pernah! Karena Sastra Jendra adalah ngelmu sejati, pengetahuan spiritual yang hanya diperuntukkan para dewa. Pengetahuan ini tinggi sekali nilai spiritualnya, hanya untuk para dewa, bangsanya malaikat ( angels).
Dengan demikian ,kalau ada manusia yang bisa menguasai Sastra Jendra, tentulah dia orang yang terpilih. Dia dapat perkenan langsung dari Sang Pencipta Hidup, Tuhan.
Para satria dan raja-raja muda yang datang melamar banyak yang bagus rupanya, santun, pandai, berbusana apik, rapi. Mereka juga mempunyai pengetahuan yang memadai dalam seni beladiri dan perang. Ada juga yang tataran ilmu kanuragannya cukup tinggi, sakti, kulitnya tak mempan ditembus senjata tajam . Tubuhnya kuat menahan berbagai serangan yang menggunakan aji-aji yang dahsyat Umumnya memiliki pusaka-pusaka andalan yang ampuh berupa keris, panah, gada, tombak dsb.
Tetapi tataran spiritual mereka masih belum tinggi, karena mereka masih lebih memperhatikan kehidupan materi dan duniawi. Tidak satupun dari mereka yang menguasai Sastra Jendra, bahkan belum pernah mengetahui dan mendengar , apa itu Sastra Jendra!
Sebenarnya mereka sangat kecewa dengan penolakan terhadap lamaran mereka. Tetapi, Prabu Sumali yang sudah menguasai Sastra Jendra, tampak begitu berwibawa didepan mereka. Selain itu,
dia juga amat sopan dalam menemui dan bertutur kata dengan tamu-tamunya, bersikap santun dalam memberi penjelasan sehingga tidak ada yang sakit hati.
Paling-paling pada waktu pamitan, mereka bilang bahwa mereka akan mencari Sastra Jendra dan bila sudah dapat, sementara Dewi Sukesi belum ada yang menyunting, mereka akan datang kembali untuk melamar.
Putrinya, Dewi Sukesi, yang tadinya raksasi, telah berubah menjadi seorang putri ayu yang luar biasa cantiknya, hatinya lembut, sopan dan merdu tutur katanya.
Keanggunannya kondang melewati batas negerinya. Banyak satria dan raja yang meminangnya, tetapi dengan halus semua ditolak.Padahal semua peminang berjanji untuk membahagiakannya, menawarkan perhiasan-perhiasan emas permata yang amat mahal, hidupnya akan bergelimang harta.
Meski zaman kuno, Prabu Sumali berpikiran maju. Dalam hal cinta, dia tidak mau memaksa putrinya, dia percaya bahwa putrinya cukup arif untuk menentukan sendiri jodoh pilihannya.
Syarat utama supaya pinangannya diterima bukanlah pemberian harta berlimpah dan mas picis rajabrana- uang mas dan perhiasan-perhiasan berlian indah dan mahal. Bukan pula pemberian tanah atau negeri yang luas, bukan pula kedudukan serta kekuasaan.
Yang bakalan menjadi suaminya adalah seorang pria yang telah menguasai Sastra Jendra. Lalu apa itu Sastra Jendra? Tentu banyak orang yang tidak tahu Sastra Jendra, mungkin mendengar saja belum pernah! Karena Sastra Jendra adalah ngelmu sejati, pengetahuan spiritual yang hanya diperuntukkan para dewa. Pengetahuan ini tinggi sekali nilai spiritualnya, hanya untuk para dewa, bangsanya malaikat ( angels).
Dengan demikian ,kalau ada manusia yang bisa menguasai Sastra Jendra, tentulah dia orang yang terpilih. Dia dapat perkenan langsung dari Sang Pencipta Hidup, Tuhan.
Para satria dan raja-raja muda yang datang melamar banyak yang bagus rupanya, santun, pandai, berbusana apik, rapi. Mereka juga mempunyai pengetahuan yang memadai dalam seni beladiri dan perang. Ada juga yang tataran ilmu kanuragannya cukup tinggi, sakti, kulitnya tak mempan ditembus senjata tajam . Tubuhnya kuat menahan berbagai serangan yang menggunakan aji-aji yang dahsyat Umumnya memiliki pusaka-pusaka andalan yang ampuh berupa keris, panah, gada, tombak dsb.
Tetapi tataran spiritual mereka masih belum tinggi, karena mereka masih lebih memperhatikan kehidupan materi dan duniawi. Tidak satupun dari mereka yang menguasai Sastra Jendra, bahkan belum pernah mengetahui dan mendengar , apa itu Sastra Jendra!
Sebenarnya mereka sangat kecewa dengan penolakan terhadap lamaran mereka. Tetapi, Prabu Sumali yang sudah menguasai Sastra Jendra, tampak begitu berwibawa didepan mereka. Selain itu,
dia juga amat sopan dalam menemui dan bertutur kata dengan tamu-tamunya, bersikap santun dalam memberi penjelasan sehingga tidak ada yang sakit hati.
Paling-paling pada waktu pamitan, mereka bilang bahwa mereka akan mencari Sastra Jendra dan bila sudah dapat, sementara Dewi Sukesi belum ada yang menyunting, mereka akan datang kembali untuk melamar.
Monday, December 14, 2009
Petruk 2 - Moel
PETRUK dikenal pula dengan nama Dawala, Kantongbolong, Dublajaya dan Pentungpinanggul. Petruk lazim disebut sebagai anak Semar, masuk dalam golongan panakawan. Sebelumnya ia benama Bambang Pecrukpanyukilan/bambang sukmonglemboro, ,putra Bagawan Salantara yang berwujud gandarwo dari padepokan Kembangsore. Ia sangat gemar bersendagurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi.
Bamban Pecrukpanyukilan pergi berkelana untuk menguji kesaktian. Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukskati , putra Resi Sukskadi dari padepokan Blubluktba, yang pergi dari padepokannya di atas bukit untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelai sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi penuh cacad dan beda sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelaian mereka berhenti setelah dilerai oleh Sanghyang Ismaya/Semar dan Bagong.
Setelah diberi fatwa dan nasehat, Bambang Sukskati dan Bambang Pecrukpanyukilan menyerahkan diri dan berguru kepada Semar, dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Karena perubahan wujud tersebut, mereka masing-masing beganti nama, Bambang Sukskati menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Pecrukpanyukilan menjadi Petruk. Petruk berumur sangat panjang. Ia hidup sampai jaman Madya.
Bamban Pecrukpanyukilan pergi berkelana untuk menguji kesaktian. Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukskati , putra Resi Sukskadi dari padepokan Blubluktba, yang pergi dari padepokannya di atas bukit untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelai sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi penuh cacad dan beda sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelaian mereka berhenti setelah dilerai oleh Sanghyang Ismaya/Semar dan Bagong.
Setelah diberi fatwa dan nasehat, Bambang Sukskati dan Bambang Pecrukpanyukilan menyerahkan diri dan berguru kepada Semar, dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Karena perubahan wujud tersebut, mereka masing-masing beganti nama, Bambang Sukskati menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Pecrukpanyukilan menjadi Petruk. Petruk berumur sangat panjang. Ia hidup sampai jaman Madya.
Sunday, December 13, 2009
Anggraeni - JR
Para senopati dan seluruh bala kurawa menghadap Sang Duryudana yang di dampingi Permaisurinya Dewi Banowati. Pertemuan itu rupanya membahas salah satu rencana untuk menghadapi perang Barathayuda. Sang Raja bertitah untuk memulai mempersiapkan para jawara dan salah satunya adalah dengan "menanam jago" Sang Raja Paranggelung Palgunadi ya si Bambang Ekalaya untuk nantinya dijadikan agul-agule kurawa di Padang Kurusetra. Rencana itu rupanya dibocorkan oleh Permaisuri Banowati kepada kekasih gelapnya Sang Arjuna yang sedang ngudi ilmu di padepokan Sokalima.
Padepokan Sokalima
Nampak Aswatama, Arjuno dan dewi Anggraeni menghadap Sang Resi Durna. Sang Dewi yang notabene istri dan permaisuri Prabu Palgunadi memohon diri pamit kepada Sang Guru sehubungan dengan masa megurunya yang sudah selesai.
Sepeninggal Dewi Anggraeni, Arjuna juga mohon pamit kepada Sang Guru. Dan Sang Guru berpesan bahwa bulan depan, di saat bulan purnama, akan di"babarkan" sebuah ilmu kedigdayaan yang baru. Untuk itu Durna mengingatkan Arjuna agar bersiap-siap dan pasti datang di acara itu.
Melihat Arjuna yang pamit setelah perginya Dewi Anggraeni, Aswatama (anak Resi Durna) curiga dan memohon ijin ayahnya untuk mengikuti langkah keduanya. Kekhawatiran Aswatama bukan tanpa alasan mengingat watak wantu-nya Arjuna yang tidak pernah bisa melihat perempuan. Apalagi setelah sekian lama mereka berdua bertemu setiap hari selama berguru bersama di Sokalima. Dan memang terbuktilah semua kekhawatiran itu...
Di tengah jalan, Arjuna berhasil menyusul Dewi Anggraeni dan menghentikan langkahnya. Diundangnya Sang Dewi untuk mampir ke Madukara. Menolak sang Dewi dengan alasan suaminya belum mengijinkannya. Arjuna semakin berani merayu dan sampai pada permohonan supaya Sang Anggraeni mau menjadi istri kesekiannya. Dewi Anggraeni menolak dan mengingatkan Arjuna tentang statusnya sebagai istri Prabu Palgunadi yang masih tunggal guru dengan Arjuna. Tapi bukan Arjuna kalau menyerah begitu saja apalagi dengan pesonanya belum pernah ada bidadari yang menolaknya apalagi jalma manungsa. Arjuna semakin berani sampai akhirnya datanglah sang Aswatama menghalangi.
Peringatan Aswatama agar Arjuna menghentikan tindak asusilanya berakhir pada perang tanding yang tentunya dimenangkan Arjuna dan Aswatama yang ngabur begitu saja. Selama perkelahian, Dewi Anggraeni memanfaatkan moment untuk segera lari meneruskan langkah pulang.
Paseban Keraton Paranggelung
Prabu Palgunadi yang dirundung rindu pada sang Istri, memerintah untuk mengatur penjemputan Dewi Anggraeni di Sokalima. Belum selesai perintah sang Prabu, Dewi Anggraeni telah tiba dengan berlinang air mata. Berceritalah sang Dewi tentang tindak asusila Raden Arjuna terhadapnya. Alih-alih percaya dengan perkataan sang istri, Prabu Palgunadi malah menuduh sang istri yang sebenarnya merayu Arjuna dan setelah ditolak, pulang dan mengarang cerita bohong agar sang suami membalaskan sakit hatinya atas Arjuna. Sumpah Dewi Anggraeni bahwa kesetiaannya tidak luntur hanya karena pesona Arjuna, malah membuat sang Prabu menghunus keris kepada istrinya. Aswatama datang mencegah sang Prabu dan menjelaskan bahwa Istrinya berkata benar.
Marah bukan kepalang sang Prabu, mendengar kelakuan Raden Arjuna yang selama ini dihormatinya sebagai kakak sebeguron malah mau "nerak pager ayu"nya. Saat itu juga dilurugnya Raden Arjuna di Madukara.
Keputren Kesatrian Madukara
Singkat cerita...
Kangen-kangenan Raden Arjuna dengan para istrinya, Dewi Sembadra, Srikandhi, Larasati, dll tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Prabu Palgunadi yang tiba-tiba. Sang Prabu memberikan khabar bahwa maksud kedatangannya adalah atas permintaan Resi Durna untuk menjemput Arjuna dan bersama-sama ke Sokalima lebih awal guna mempersiapkan acara "babar ilmu" bulan depan. Maka berangkatlah mereka berdua.
Tidak lama dari kepergian mereka, para awak pendawa yang lain beserta Krisna tiba di Keputren Kesatrian Madukara. Para istri Arjuna pun bercerita bahwa barusan ada Prabu Palgunadi yang menjemput Arjuna untuk berbarengan ke Sokalima. Curigalah sang Kresna karena belum juga sehari Arjuna pulang dari Sokalima, telah datang utusan sokalima untuk menjemputnya kembali. Karenanya mereka (Kresna dan para Pandawa) menyusul Arjuna dan Palgunadi.
Di Tengah Jalan....
Di tengah jalan Prabu Palgunadi dan Arjuno berdiskusi tentang suatu pelajaran di Sokalima "Dalam hidup ini harus toleransi, Jika tidak mau dicubit jangan dicubit, Jika tidak mau diganggu ya jangan mengganggu '
"Jadi Kakang Arjuna, kalo semisal aku ingin menikah lagi bagaimana menurutmu?", tanya Palgunadi
"Oh aku setuju saja, kalo perlu aku yang akan membantumu, memang siapa yang ingin kamu jadikan istri lagi?"
"Bagaimana kalo yang ingin saya peristri itu istri panjenengan ya Dewi Sembadra"
Merah padam muka Arjuna mendengar kata-kata Palgunadi.
"Ok! Boleh! Tapi setelah kau langkahi mayatku!"
Sebelum kondisi antara keduanya lebih memanas, Prabu Palgunadi mengatakan betapa merasa dipermalukan dia karena kelakuan Raden Arjuna ya Palgunadi yang memaksa istrinya Dewi Angraeni untuk jadi istrinya.
Dan selanjutnya pertikaian kedua kesatria itu tidak terelakkan. Keduanya merasa telah terhina satu sama lainnya. Dari mulai jurus tapak kosong sampai jurus pakai senjata hingga ilmu kebatinan dikerahkan. Keduanya tan tedas senjata akhirnya mengeluarkan ajian Pamungkas. Ajian pamungkas Arjuna tidak mempan terhadap Palgunadi. Tapi alangkah mengejutkan ketika Palgunadi melancarkan ajian pamungkas nya kepada Arjuna mengakibatkan Arjuna mati. yaa Arjuna MATI!.
Terkejut, heran, dan bangga memenuhi hati sang Prabu setelah berhasil mengalahkan orang yang dijagokan Dewa. Untuk mencari jawaban keheranannya, pergilah sang Prabu ke Sokalima.
Jasad Arjuna yang ditinggal begitu saja ditemukan oleh rombongan Krisna dan para awak Pandawa. Maka dengan kesaktian "kembang Wijaya Kusuma" milik krisna, Arjuna dihidupkan kembali. Arjuna yang diinterogasi.
Kresna malah akhirnya mengatakan bahwa mungkin resi Durna itu "mban Cinde mban siladan" (= pilih kasih). Karena bagaimana mungkin Arjuna yang katanya murid kesayangan Resi Durna bisa kalah dengan Palgunadi yang lebih junior di Sokalima. Mendengar itu langsung Arjuna pergi ke Sokalima.
Padepokan Sokalima
Entah bagaimana dan apa yang terjadi di jalan, nyatanya justru Arjuna yang sampai Sokalima terlebih dahulu dibandingkan Prabu Palgunadi. Kedatangan Arjuna yang tiba-tiba dengan menghunus keris membuat sang Resi Durna ketakutan. Ternyata Arjuna merajuk minta dibunuh saja karena sang guru yang memberikan ilmu yang lebih tinggi kepada yuniornya Prabu Palgunadi. Terbukti dengan kekalahan Arjuna sampai mati. Mendengar rajukan murid terkasihnya, Resi Durna menjanjikan akan memberikan jimat yang lebih ampuh dan kematian Palgunadi
Tak lama berselang setelah Arjuna pergi ke belakang, Prabu Palgunadi datang dan menceritakan kejadian perkelahian yang berakhir dengan kematian Arjuna setelah menggunakan jimat cincin pusaka "mustika Ampal". Dengan muslihatnya, Durna mengatakan bahwa pusaka itu harus di "reload" setiap habis dipakai untuk membunuh orang. Dan orang yang bisa me"reload" hanyalah Durna sendiri. Percaya saja dengan tipuan Durna, Palgunadi mengijinkan Durna melepas cincin yang tertanam di jari kanannya. Lepasnya cincin disertai lepasnya jari Palgunadi dan lebih parah lepasnya juga nyawa sang Prabu. Sebelum nyawa benar-benar lepas dari badan, Palgunadi yang telah menyadari kelicikan Durna mengucapkan sumpah kutukan dendam, bahwa nanti di Bharatayudha Durna akan mati di tangan titisannya.
Palgunadi akan menitis ke Drestojumeno..kelak dialah yg akan memenggal kepala sang Durna dalam perang Baratayuda ( dalam cerita " Durno Gugur " )
Melihat tubuh suaminya yang sudah tidak bernyawa, Anggraeni sang istri setia harakiri disamping sang suami...
Padepokan Sokalima
Nampak Aswatama, Arjuno dan dewi Anggraeni menghadap Sang Resi Durna. Sang Dewi yang notabene istri dan permaisuri Prabu Palgunadi memohon diri pamit kepada Sang Guru sehubungan dengan masa megurunya yang sudah selesai.
Sepeninggal Dewi Anggraeni, Arjuna juga mohon pamit kepada Sang Guru. Dan Sang Guru berpesan bahwa bulan depan, di saat bulan purnama, akan di"babarkan" sebuah ilmu kedigdayaan yang baru. Untuk itu Durna mengingatkan Arjuna agar bersiap-siap dan pasti datang di acara itu.
Melihat Arjuna yang pamit setelah perginya Dewi Anggraeni, Aswatama (anak Resi Durna) curiga dan memohon ijin ayahnya untuk mengikuti langkah keduanya. Kekhawatiran Aswatama bukan tanpa alasan mengingat watak wantu-nya Arjuna yang tidak pernah bisa melihat perempuan. Apalagi setelah sekian lama mereka berdua bertemu setiap hari selama berguru bersama di Sokalima. Dan memang terbuktilah semua kekhawatiran itu...
Di tengah jalan, Arjuna berhasil menyusul Dewi Anggraeni dan menghentikan langkahnya. Diundangnya Sang Dewi untuk mampir ke Madukara. Menolak sang Dewi dengan alasan suaminya belum mengijinkannya. Arjuna semakin berani merayu dan sampai pada permohonan supaya Sang Anggraeni mau menjadi istri kesekiannya. Dewi Anggraeni menolak dan mengingatkan Arjuna tentang statusnya sebagai istri Prabu Palgunadi yang masih tunggal guru dengan Arjuna. Tapi bukan Arjuna kalau menyerah begitu saja apalagi dengan pesonanya belum pernah ada bidadari yang menolaknya apalagi jalma manungsa. Arjuna semakin berani sampai akhirnya datanglah sang Aswatama menghalangi.
Peringatan Aswatama agar Arjuna menghentikan tindak asusilanya berakhir pada perang tanding yang tentunya dimenangkan Arjuna dan Aswatama yang ngabur begitu saja. Selama perkelahian, Dewi Anggraeni memanfaatkan moment untuk segera lari meneruskan langkah pulang.
Paseban Keraton Paranggelung
Prabu Palgunadi yang dirundung rindu pada sang Istri, memerintah untuk mengatur penjemputan Dewi Anggraeni di Sokalima. Belum selesai perintah sang Prabu, Dewi Anggraeni telah tiba dengan berlinang air mata. Berceritalah sang Dewi tentang tindak asusila Raden Arjuna terhadapnya. Alih-alih percaya dengan perkataan sang istri, Prabu Palgunadi malah menuduh sang istri yang sebenarnya merayu Arjuna dan setelah ditolak, pulang dan mengarang cerita bohong agar sang suami membalaskan sakit hatinya atas Arjuna. Sumpah Dewi Anggraeni bahwa kesetiaannya tidak luntur hanya karena pesona Arjuna, malah membuat sang Prabu menghunus keris kepada istrinya. Aswatama datang mencegah sang Prabu dan menjelaskan bahwa Istrinya berkata benar.
Marah bukan kepalang sang Prabu, mendengar kelakuan Raden Arjuna yang selama ini dihormatinya sebagai kakak sebeguron malah mau "nerak pager ayu"nya. Saat itu juga dilurugnya Raden Arjuna di Madukara.
Keputren Kesatrian Madukara
Singkat cerita...
Kangen-kangenan Raden Arjuna dengan para istrinya, Dewi Sembadra, Srikandhi, Larasati, dll tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Prabu Palgunadi yang tiba-tiba. Sang Prabu memberikan khabar bahwa maksud kedatangannya adalah atas permintaan Resi Durna untuk menjemput Arjuna dan bersama-sama ke Sokalima lebih awal guna mempersiapkan acara "babar ilmu" bulan depan. Maka berangkatlah mereka berdua.
Tidak lama dari kepergian mereka, para awak pendawa yang lain beserta Krisna tiba di Keputren Kesatrian Madukara. Para istri Arjuna pun bercerita bahwa barusan ada Prabu Palgunadi yang menjemput Arjuna untuk berbarengan ke Sokalima. Curigalah sang Kresna karena belum juga sehari Arjuna pulang dari Sokalima, telah datang utusan sokalima untuk menjemputnya kembali. Karenanya mereka (Kresna dan para Pandawa) menyusul Arjuna dan Palgunadi.
Di Tengah Jalan....
Di tengah jalan Prabu Palgunadi dan Arjuno berdiskusi tentang suatu pelajaran di Sokalima "Dalam hidup ini harus toleransi, Jika tidak mau dicubit jangan dicubit, Jika tidak mau diganggu ya jangan mengganggu '
"Jadi Kakang Arjuna, kalo semisal aku ingin menikah lagi bagaimana menurutmu?", tanya Palgunadi
"Oh aku setuju saja, kalo perlu aku yang akan membantumu, memang siapa yang ingin kamu jadikan istri lagi?"
"Bagaimana kalo yang ingin saya peristri itu istri panjenengan ya Dewi Sembadra"
Merah padam muka Arjuna mendengar kata-kata Palgunadi.
"Ok! Boleh! Tapi setelah kau langkahi mayatku!"
Sebelum kondisi antara keduanya lebih memanas, Prabu Palgunadi mengatakan betapa merasa dipermalukan dia karena kelakuan Raden Arjuna ya Palgunadi yang memaksa istrinya Dewi Angraeni untuk jadi istrinya.
Dan selanjutnya pertikaian kedua kesatria itu tidak terelakkan. Keduanya merasa telah terhina satu sama lainnya. Dari mulai jurus tapak kosong sampai jurus pakai senjata hingga ilmu kebatinan dikerahkan. Keduanya tan tedas senjata akhirnya mengeluarkan ajian Pamungkas. Ajian pamungkas Arjuna tidak mempan terhadap Palgunadi. Tapi alangkah mengejutkan ketika Palgunadi melancarkan ajian pamungkas nya kepada Arjuna mengakibatkan Arjuna mati. yaa Arjuna MATI!.
Terkejut, heran, dan bangga memenuhi hati sang Prabu setelah berhasil mengalahkan orang yang dijagokan Dewa. Untuk mencari jawaban keheranannya, pergilah sang Prabu ke Sokalima.
Jasad Arjuna yang ditinggal begitu saja ditemukan oleh rombongan Krisna dan para awak Pandawa. Maka dengan kesaktian "kembang Wijaya Kusuma" milik krisna, Arjuna dihidupkan kembali. Arjuna yang diinterogasi.
Kresna malah akhirnya mengatakan bahwa mungkin resi Durna itu "mban Cinde mban siladan" (= pilih kasih). Karena bagaimana mungkin Arjuna yang katanya murid kesayangan Resi Durna bisa kalah dengan Palgunadi yang lebih junior di Sokalima. Mendengar itu langsung Arjuna pergi ke Sokalima.
Padepokan Sokalima
Entah bagaimana dan apa yang terjadi di jalan, nyatanya justru Arjuna yang sampai Sokalima terlebih dahulu dibandingkan Prabu Palgunadi. Kedatangan Arjuna yang tiba-tiba dengan menghunus keris membuat sang Resi Durna ketakutan. Ternyata Arjuna merajuk minta dibunuh saja karena sang guru yang memberikan ilmu yang lebih tinggi kepada yuniornya Prabu Palgunadi. Terbukti dengan kekalahan Arjuna sampai mati. Mendengar rajukan murid terkasihnya, Resi Durna menjanjikan akan memberikan jimat yang lebih ampuh dan kematian Palgunadi
Tak lama berselang setelah Arjuna pergi ke belakang, Prabu Palgunadi datang dan menceritakan kejadian perkelahian yang berakhir dengan kematian Arjuna setelah menggunakan jimat cincin pusaka "mustika Ampal". Dengan muslihatnya, Durna mengatakan bahwa pusaka itu harus di "reload" setiap habis dipakai untuk membunuh orang. Dan orang yang bisa me"reload" hanyalah Durna sendiri. Percaya saja dengan tipuan Durna, Palgunadi mengijinkan Durna melepas cincin yang tertanam di jari kanannya. Lepasnya cincin disertai lepasnya jari Palgunadi dan lebih parah lepasnya juga nyawa sang Prabu. Sebelum nyawa benar-benar lepas dari badan, Palgunadi yang telah menyadari kelicikan Durna mengucapkan sumpah kutukan dendam, bahwa nanti di Bharatayudha Durna akan mati di tangan titisannya.
Palgunadi akan menitis ke Drestojumeno..kelak dialah yg akan memenggal kepala sang Durna dalam perang Baratayuda ( dalam cerita " Durno Gugur " )
Melihat tubuh suaminya yang sudah tidak bernyawa, Anggraeni sang istri setia harakiri disamping sang suami...
Pengobanan Seorang Mertua 2 - Moel
Prabu Salya ketika mudanya bernama Narasoma, adalah putera Prabu Mandrapati, raja Negara Mandaraka dari permaisuri Dewi Tejawati. Prabu Salya adalah saudara kandung bernama dewi madrim yang kemudian menjadi isteri kedua pandu dewanata, raja negara hastina. kerajaan mandara atau lebih dikenal mandaraka yaitu salah satu kerajaan kuno yang terletak di sebelah barat asia selatan yang sekarang bernama india. Ia merupakan ksatria yang sangat tangguh pada zamannya.
Prabu Mandarapati adalah seorang raja yang mendidik anaknya dengan keras. Hal inilah yang membuat Narasoma memutuskan untuk meninggalkan Istana. Dari sinilah awal proses pembelajaran Narasoma menjadi seorang yang bijaksana. Narasoma merupakan putra mahkota yang angkuh, hal ini disebabkan keahliannya dalam olahkanuragan telah banyak mengalahkan para ksatria
Akhirnya Narasoma berhasil dikalahkan seorang dari bangsa raksasa bernama Resi Bagaspati. Narasoma akhirnya dibawa kepadepokan Resi Bagaspati dan memperistri putri resi Bagaspati yang cantik jelita bernama Dewi Pujawati.
Kemudian Narasoma digembleng dengan ilmu kanoragan yang mumpuni ,Sayangnya, sang pangeran belum dapat mengendalikan tutur kata. Ia melukai perasaan istri tercinta dengan menyatakan malu memiliki mertua bangsa raksasa. Terjadilah peristiwa yang memeras airmata, Pujawati bingung ia sangat menyintai Narasoma tetapi juga tidak mau kehilangan ayahnya, melihat gelagat itu Begawan bagaspati rela mati demi anaknya maka Begawan Bagaspati menemui ajalnya demi kehormatan Pujawati. Ia mewariskan ajian sakti Candrabirawa kepada Narasoma yang diliputi perasaan sesal.dan dia kan menuntut balas nantinya di perang baratayuda dan menitis di tubuh Yudistira.karena ajian candabirawa hanya bisa dikalahkan oleh satria yang berdarah putih.
Prabu Mandarapati adalah seorang raja yang mendidik anaknya dengan keras. Hal inilah yang membuat Narasoma memutuskan untuk meninggalkan Istana. Dari sinilah awal proses pembelajaran Narasoma menjadi seorang yang bijaksana. Narasoma merupakan putra mahkota yang angkuh, hal ini disebabkan keahliannya dalam olahkanuragan telah banyak mengalahkan para ksatria
Akhirnya Narasoma berhasil dikalahkan seorang dari bangsa raksasa bernama Resi Bagaspati. Narasoma akhirnya dibawa kepadepokan Resi Bagaspati dan memperistri putri resi Bagaspati yang cantik jelita bernama Dewi Pujawati.
Kemudian Narasoma digembleng dengan ilmu kanoragan yang mumpuni ,Sayangnya, sang pangeran belum dapat mengendalikan tutur kata. Ia melukai perasaan istri tercinta dengan menyatakan malu memiliki mertua bangsa raksasa. Terjadilah peristiwa yang memeras airmata, Pujawati bingung ia sangat menyintai Narasoma tetapi juga tidak mau kehilangan ayahnya, melihat gelagat itu Begawan bagaspati rela mati demi anaknya maka Begawan Bagaspati menemui ajalnya demi kehormatan Pujawati. Ia mewariskan ajian sakti Candrabirawa kepada Narasoma yang diliputi perasaan sesal.dan dia kan menuntut balas nantinya di perang baratayuda dan menitis di tubuh Yudistira.karena ajian candabirawa hanya bisa dikalahkan oleh satria yang berdarah putih.
Pengorbanan Seorang Mertua 1 - Moel
Adalah tokoh wayang cerita Mahabarata, Bagawan Bagaspati yang sewaktu mudanya bernama Bambang Anggana Putra, adalah putra Resi Jaladara dari Pertapaan Dewasana dengan Dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara Magada. Pada mulanya Bambang Anggana Putra berwujud satria tampan, tetapi kerena terkena kutukan Sanghyang Manikmaya /betoro guru tatkala akan memperistri Dewi Darmastuti wujudnya berubah menjadi raksasa buto gede sak gunung anakan. Ia kemudian menjadi brahmana di pertapaan Argabelah dan bergelar Bagawan Bagaspati.
Bagaspati sangat sakti. Ia memiliki Ajian Candrabirawa, sehingga tidak bisa mati kecuali atas kemauannya sendiri. Ia menikah dengan Dewi Dharmastuti, seorang hapsari (bidadari) dan berputra Dewi Pujawati.
Bagaspati mempunyai watak: sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, rela berkorban dan sangat sayang pada putrinya. Ia bersahabat karib dengan Prabu Mandrapati raja negara Mandara yang merupakan saudara seperguruan.
Bagaspati sangat sakti. Ia memiliki Ajian Candrabirawa, sehingga tidak bisa mati kecuali atas kemauannya sendiri. Ia menikah dengan Dewi Dharmastuti, seorang hapsari (bidadari) dan berputra Dewi Pujawati.
Bagaspati mempunyai watak: sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, rela berkorban dan sangat sayang pada putrinya. Ia bersahabat karib dengan Prabu Mandrapati raja negara Mandara yang merupakan saudara seperguruan.
Petruk 1 - Moel
PETRUK
tokoh idola para dalang.dia dikenal sebagaianak Gandarwa/gendruwo (sebangsa jin besar ), menjadi anak angkat kedua Semar setelah Gareng.Nama
lain Petruk adalah Kanthong Bolong, artinya suka berdema. Doblajaya, artinya pintar. Diantara saudaranya (Gareng dan Bagong) Petruklah yang paling pandai dan pintar bicara dan suka banyol .banyolanya renyah dan penuh makna filosofi, badanya tinggi agak bungkuk, hidungnya panjang melambangkan suka mencium ketidak beresan di suatu tempat
Petruk tinggal di Pecuk Pecukilan. Ia mempunyai satu anak yaitu Bambang Lengkung Kusuma (seorang yang tampan) istrinya bernama Dewi Undanawati putri dari prabu kresno . Sebagai punakawan Petruk selalu menghibur tuannya ketika dalam kesusahaan menerima cobaan, mengingatkan ketika lupa, membela ketika teraniaya. Intinya bisa momongkepada siapa saja yang menjadi juragannya
petruk terkenal sangat sakti dan mampu menjadi raja dengan restu bapaknya yang bangsa jin.
petruk menggabarkan orang bawahan atau kawulo alit yang punya pandangan luas digambarkan dengan postur tubuhnya yang jangkung dan mempunyai indra yang tajam digambarkan dengan hidungnya yang panjang,namun dia tetap sebagai rakyat kecil yang bersenjatakan arit untuk memotong rumput
bila dia mau dia bisa menjadi kesatria yang tampan bernama bambang sukmo nglemboro karena ibunya memang seorang bidadari
tangan kananya selalu menujuk keatas bila sedang berjalan mengibaratkan meskipun dilanda penderitaan sebagai bawahan harus selalu ingat kepada yang diatas menjalani hidup ini.
tokoh idola para dalang.dia dikenal sebagaianak Gandarwa/gendruwo (sebangsa jin besar ), menjadi anak angkat kedua Semar setelah Gareng.Nama
lain Petruk adalah Kanthong Bolong, artinya suka berdema. Doblajaya, artinya pintar. Diantara saudaranya (Gareng dan Bagong) Petruklah yang paling pandai dan pintar bicara dan suka banyol .banyolanya renyah dan penuh makna filosofi, badanya tinggi agak bungkuk, hidungnya panjang melambangkan suka mencium ketidak beresan di suatu tempat
Petruk tinggal di Pecuk Pecukilan. Ia mempunyai satu anak yaitu Bambang Lengkung Kusuma (seorang yang tampan) istrinya bernama Dewi Undanawati putri dari prabu kresno . Sebagai punakawan Petruk selalu menghibur tuannya ketika dalam kesusahaan menerima cobaan, mengingatkan ketika lupa, membela ketika teraniaya. Intinya bisa momongkepada siapa saja yang menjadi juragannya
petruk terkenal sangat sakti dan mampu menjadi raja dengan restu bapaknya yang bangsa jin.
petruk menggabarkan orang bawahan atau kawulo alit yang punya pandangan luas digambarkan dengan postur tubuhnya yang jangkung dan mempunyai indra yang tajam digambarkan dengan hidungnya yang panjang,namun dia tetap sebagai rakyat kecil yang bersenjatakan arit untuk memotong rumput
bila dia mau dia bisa menjadi kesatria yang tampan bernama bambang sukmo nglemboro karena ibunya memang seorang bidadari
tangan kananya selalu menujuk keatas bila sedang berjalan mengibaratkan meskipun dilanda penderitaan sebagai bawahan harus selalu ingat kepada yang diatas menjalani hidup ini.
Saturday, December 12, 2009
Keluarga Bimo Seno - Moel
DI antara keluarga Pandawa, Bima tergolong unik. Dengan postur tubuh tinggi-besar dan sikap apa adanya, Bima dikenal kurang mengerti tatakrama. Bima juga memiliki tiga putra dari istri berbeda. Gatutkaca lahir dari rahim Arimbi, Antasena dari Urangayu, dan Antareja dari Nagagini.
Ketiga putra Bima memiliki kesaktian luar biasa. Gatutkaca bisa terbang, Antareja bisa menyusup ke dalam bumi, sementara Antasena jauh lebih sakti. Antasena mampu terbang, ambles bumi, dan menyelam. Kesaktian itu bukan tidak menyisakan masalah. Gatutkaca mati tertembus panah Karna namun Antasena dan Antareja harus menempuh jalan lain. Keduanya tidak bisa mati selama masih bersentuhan dengan tanah atau air.
Sejak kecil Antareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala atau dasar bumi. Dia memiliki aji Upasanta. Lidahnya sangat sakti. Makhluk apa pun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Kulit Antareja kebal senjata. Dia juga memiliki cincin Mustikabumi yang mampu menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi dan tanah. Cincin itu juga bisa digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, berbakti kepada yang lebih tua, dan sayang kepada yang muda, dan rela berkorban.
Antasena tak kalah sakti. Seperti Antareja, kulit Antasena juga bersisik dan kebal senjata tajam. Antasena mampu membenamkan diri ke dalam tanah dan tidak akan mati jika tubuhnya masih menyinggung air atau tanah. Anantasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani karena membela kebenaran, dan tidak pernah berdusta.
Kesaktian Antareja dan Antasena menimbulkan masalah pada Perang Baratayuda. Kresna tahu benar, keduanya tidak bisa mati dan bisa membahayakan Pandawa. Karena itu, keduanya tidak diperbolehkan turun ke medan laga. Kresna pun merancang strategi dengan meminta kedua putra Bima itu untuk mengorbankan diri. Antareja harus menjilat telapak kakinya sendiri sementara Antasena meninggal sebelum perang dimulai dengan cara muksa (lenyap beserta raganya).
Ketiga putra Bima memiliki kesaktian luar biasa. Gatutkaca bisa terbang, Antareja bisa menyusup ke dalam bumi, sementara Antasena jauh lebih sakti. Antasena mampu terbang, ambles bumi, dan menyelam. Kesaktian itu bukan tidak menyisakan masalah. Gatutkaca mati tertembus panah Karna namun Antasena dan Antareja harus menempuh jalan lain. Keduanya tidak bisa mati selama masih bersentuhan dengan tanah atau air.
Sejak kecil Antareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala atau dasar bumi. Dia memiliki aji Upasanta. Lidahnya sangat sakti. Makhluk apa pun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Kulit Antareja kebal senjata. Dia juga memiliki cincin Mustikabumi yang mampu menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi dan tanah. Cincin itu juga bisa digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, berbakti kepada yang lebih tua, dan sayang kepada yang muda, dan rela berkorban.
Antasena tak kalah sakti. Seperti Antareja, kulit Antasena juga bersisik dan kebal senjata tajam. Antasena mampu membenamkan diri ke dalam tanah dan tidak akan mati jika tubuhnya masih menyinggung air atau tanah. Anantasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani karena membela kebenaran, dan tidak pernah berdusta.
Kesaktian Antareja dan Antasena menimbulkan masalah pada Perang Baratayuda. Kresna tahu benar, keduanya tidak bisa mati dan bisa membahayakan Pandawa. Karena itu, keduanya tidak diperbolehkan turun ke medan laga. Kresna pun merancang strategi dengan meminta kedua putra Bima itu untuk mengorbankan diri. Antareja harus menjilat telapak kakinya sendiri sementara Antasena meninggal sebelum perang dimulai dengan cara muksa (lenyap beserta raganya).
Friday, December 11, 2009
Baladewa - Moel
Ia profil manusia bangsawan tapi berpola pikir sederhana. Hitam akan dikatakan hitam, putih dikatakan putih tanpa rekayasa. Berpendirian netral, tak mau campur urusan dalam negeri orang lain, tapi juga menolak campur tangan asing atas negerinya. Hidup berdampingan secara damai dan saling menguntungkan.
Sifat temperamental tapi tak berlangsung lama karena hatinya baik. Kelemahannya kurang wiwaha, tak panjang pikiran, hingga mudah dipengaruhi, tapi mudah pula dibawa kejalan yang benar. Artinya, jika telah diketahui bahwa persoalan yang dihadapi akan berakibat buruk, ia segera mundur tak mau ikut campur.
Ia berusia panjang hingga zaman Parikesit dan tetap dihormati sebagai orangtua yang punya wibawa dan sering dimintai nasihatnya. Akhir riwayat Baladawa, menurut Mahabarata, bukan mati terbunuh, melainkan terjun ke laut dan menghilang. Hal itu terjadi setelah bangsa Yadawa, leluhur dan sanak keluarganya, saling gempur sesamanya hingga ludas. Konon peristiwa itu terjadi karena kutukan Dewi Anggandari yang mengutuk Kresna telah mengadu domba Kurawa dan Pandawa hingga ludas dalam perang Baratayudha.
baladewo yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan mempunyai adik lain ibu bernama; Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah ketrampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryudana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti; Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati/Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama : Wisata dan Wimuka.
Sifat temperamental tapi tak berlangsung lama karena hatinya baik. Kelemahannya kurang wiwaha, tak panjang pikiran, hingga mudah dipengaruhi, tapi mudah pula dibawa kejalan yang benar. Artinya, jika telah diketahui bahwa persoalan yang dihadapi akan berakibat buruk, ia segera mundur tak mau ikut campur.
Ia berusia panjang hingga zaman Parikesit dan tetap dihormati sebagai orangtua yang punya wibawa dan sering dimintai nasihatnya. Akhir riwayat Baladawa, menurut Mahabarata, bukan mati terbunuh, melainkan terjun ke laut dan menghilang. Hal itu terjadi setelah bangsa Yadawa, leluhur dan sanak keluarganya, saling gempur sesamanya hingga ludas. Konon peristiwa itu terjadi karena kutukan Dewi Anggandari yang mengutuk Kresna telah mengadu domba Kurawa dan Pandawa hingga ludas dalam perang Baratayudha.
baladewo yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan mempunyai adik lain ibu bernama; Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah ketrampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryudana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti; Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati/Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama : Wisata dan Wimuka.
Thursday, December 10, 2009
Wisanggeni (2) - Moel
Wisanggeni berarti bisanya api. berasal dari wisa = bisa dan geni = api. Tak peduli siapapun pasti dibakarnya. Musuh atau sodara, teman atau tetangga, kriteriannya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran, dan kebatilan adalah musuhnya.
Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra durgo terhadap janoko yang telah menikahi dresanala Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu betoro guru ,
Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar betoro brahma menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh narodo selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.
Brahma yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brahma pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.
Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya. Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brahma membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.
bukannya mati malah menjadi dewasa
Menjelang meletusnya brontoyudo, Wisanggeni dan ontoseno naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada sang yang wenang sebelum mereka bergabung di pihak pandawa Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai sampurna , musnah bersama jasad mereka.
Wisangeni adalah tokoh pewayangan favorit saya. Bukan karena kesaktiannya yang menjadikan saya menyukainya tetapi karena sifatnyalah yang menjadikan saya kagum padanya. Wisanggeni selalu berbahasa ngoko kepada semua orang walaupun kepada dewa. Ini adalah falsafah bahwa sesungguhnya derajat manusia itu sama saja baik kaya, miskin, tua, muda, tuan dan budak. Tokoh Wisanggeni adalah suatu femomena yang ganjil dalam kebudayaan Jawa yang sangat feudal. Tak pernah mengenal rasa takut adalah salah satu sifatnya yang saya kagumi
Karena kesaktian inilah ia dianggap menyalahi kodrat sehingga Prabu Kresna pada saat menjelang perang baratayuda meminta Wisanggeni dan Antasena untuk mati sebagai tumbal negara. Karena jika tidak maka Kurawa akan musnah bukan oleh Pandawa tetapi oleh mereka berdua. Ini yang menyalahi kodrat. Permintaan ini dipenuhi oleh kedua satria ini dengan tulus.
Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra durgo terhadap janoko yang telah menikahi dresanala Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu betoro guru ,
Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar betoro brahma menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh narodo selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.
Brahma yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brahma pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.
Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya. Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brahma membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.
bukannya mati malah menjadi dewasa
Menjelang meletusnya brontoyudo, Wisanggeni dan ontoseno naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada sang yang wenang sebelum mereka bergabung di pihak pandawa Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai sampurna , musnah bersama jasad mereka.
Wisangeni adalah tokoh pewayangan favorit saya. Bukan karena kesaktiannya yang menjadikan saya menyukainya tetapi karena sifatnyalah yang menjadikan saya kagum padanya. Wisanggeni selalu berbahasa ngoko kepada semua orang walaupun kepada dewa. Ini adalah falsafah bahwa sesungguhnya derajat manusia itu sama saja baik kaya, miskin, tua, muda, tuan dan budak. Tokoh Wisanggeni adalah suatu femomena yang ganjil dalam kebudayaan Jawa yang sangat feudal. Tak pernah mengenal rasa takut adalah salah satu sifatnya yang saya kagumi
Karena kesaktian inilah ia dianggap menyalahi kodrat sehingga Prabu Kresna pada saat menjelang perang baratayuda meminta Wisanggeni dan Antasena untuk mati sebagai tumbal negara. Karena jika tidak maka Kurawa akan musnah bukan oleh Pandawa tetapi oleh mereka berdua. Ini yang menyalahi kodrat. Permintaan ini dipenuhi oleh kedua satria ini dengan tulus.
Durno - Moel
ono meneh..jenenge DURNO, sakwijining pendito jahat, licik, kejem, tur bekerja dibalik layar.
Durno seko kata mundur-mundur keno. Mbiyen critane bambang kumboyono arep nyebrang laut njuk ngucap "sopo sing iso nyebrangke aku, nek wedok tak dadekke bojo, nek lanang tak dadekke sedulur"
jebule sing teko jaran sembrani, trus le mbonceng kemunduren..jarane dadi meteng.......ihik nyaman ngejos?!
di Cerita asli India, durno dikenal kanthi asma Druhna, pndito suci sing getur tapane tur kebak welas asih...
neng cerito Jawa diplesetke dadi Pendito usil ,methakil
Moel,kok isa dipleset'ke adoh men,versi India dan Ind?
RY
Cerita wayang saka India akeh disesuaikan karo kondisi masyarakat/budaya Jawa.Conto liyane: Dewi Drupadi..nek asline India dadi bojone wong limo (pandawa),versi Jawa cuma jadi bojone Puntadewa.
Karena India menganut polytheisme maka banyak tokoh dewa (misal:Brahma/dewa api,Bayu/dewa angin,Surya/matahari).Dimana dewa2 tsb dimuliakan..Sedang versi jawa,dewa2 tsb cuma dianggap sbg makhluk..yg dapat juga berbuat salah.Ini untuk menyesuaikan dg ajaran monotheisme.
Dan juga adanya punokawan.. JR
Iya,aku maca buku karangane Rajagopalachari,Drupadi diperistri pendawa lima.Miturut budaya jawa dadi ora mungkin/aneh ya Jok?
RY
Lha Kunti (Ibune Pandawa )nek menurut cerita India rak tukang selingkuh..wong critane bojone(Pandu ) kuwi impoten..
Puntadewa anake Dewa Darma,Bimo anake Bayu,Arjuno anake Indra...tapi ning versi Jawa ora ngunu.Malah Kunti dianggap single parent yg berhasil,tabah...JR
Durno seko kata mundur-mundur keno. Mbiyen critane bambang kumboyono arep nyebrang laut njuk ngucap "sopo sing iso nyebrangke aku, nek wedok tak dadekke bojo, nek lanang tak dadekke sedulur"
jebule sing teko jaran sembrani, trus le mbonceng kemunduren..jarane dadi meteng.......ihik nyaman ngejos?!
di Cerita asli India, durno dikenal kanthi asma Druhna, pndito suci sing getur tapane tur kebak welas asih...
neng cerito Jawa diplesetke dadi Pendito usil ,methakil
Moel,kok isa dipleset'ke adoh men,versi India dan Ind?
RY
Cerita wayang saka India akeh disesuaikan karo kondisi masyarakat/budaya Jawa.Conto liyane: Dewi Drupadi..nek asline India dadi bojone wong limo (pandawa),versi Jawa cuma jadi bojone Puntadewa.
Karena India menganut polytheisme maka banyak tokoh dewa (misal:Brahma/dewa api,Bayu/dewa angin,Surya/matahari).Dimana dewa2 tsb dimuliakan..Sedang versi jawa,dewa2 tsb cuma dianggap sbg makhluk..yg dapat juga berbuat salah.Ini untuk menyesuaikan dg ajaran monotheisme.
Dan juga adanya punokawan.. JR
Iya,aku maca buku karangane Rajagopalachari,Drupadi diperistri pendawa lima.Miturut budaya jawa dadi ora mungkin/aneh ya Jok?
RY
Lha Kunti (Ibune Pandawa )nek menurut cerita India rak tukang selingkuh..wong critane bojone(Pandu ) kuwi impoten..
Puntadewa anake Dewa Darma,Bimo anake Bayu,Arjuno anake Indra...tapi ning versi Jawa ora ngunu.Malah Kunti dianggap single parent yg berhasil,tabah...JR
Wisanggeni 1 - Moel
Bambang Wisanggeni adalah nama seorang tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam wiracarita Mahabharata, karena merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Ia dikenal sebagai putra Arjuna yang lahir dari seorang bidadari bernama Dresanala, putri Batara Brahma. Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa.
Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan bahasa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang.
Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan bahasa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang.
Bathari Durga - Moel
Bathari Durga iku mula bukane duwe jeneng Dewi Pramuni kang sulistya ing rupa. Dewi Pramuni mendhem rasa tresna marang panguwasa tribuwana, yaiku Bathara Guru.
Kanggo nggayuh ketemune rasa tresnane marang Bathara Guru, sawijining dina Dewi Pramuni tapa brata. Sawise nemoni maneka rupa pacoban lan godhan, wusanane katekan Bathara Guru, Dewi Umayi lan Bathara Kala.
Ing wawanrembug antarane Bathara Guru lan Dewi Pramuni, adhedhasar andharan ing Kitab Purwacarita, kaya kang kapethik ing buku Ensiklopedi Wayang Purwa, weton Balai Pustaka, Bathara Guru gelem nyembadani pepenginane Dewi Pramuni kang pengin dadi prameswarine.
Ananging ora kabul sakabehe, amarga mung tata lair wae sing bisa dadi prameswarine Bathara Guru. Dene jiwane ora bisa dadi prameswarine panguwasa tribuwana iku.
Amarga kasektene Bathara Guru, Dewi Umayi lan Dewi Pramuni banjur ijolan raga. Jiwane Dewi Umayi manjing ing ragane Dewi Pramuni, lan suwalike jiwane Dewi Pramuni manjing ing ragane Dewi Umayi kang arupa raseksi.
Adhedhasar andharan ing buku Ensiklopedi Wayang Purwa, weton Balai Pustaka, Dewi Pramuni (jiwane Dewi Pramuni kang manjing ing ragane raseksi Dewi Umayi sabanjure antuk jejuluk Bathari Durga kang tegese kuciwa, ala, ora nyenengake. Lan sabanjure Dewi Durga dipacangake kalawan Bathara Kala.
Lan wiwit wektu iku, Bathari Durga disembah dening para kang ngrasuk agama Durga. Bathari Durga katetepake dumunung ing kayangan Krendayana. Kayangan iku sabanjure kondhang sinebut pasetran Gandamayit/Ganda Umayi.
Bathari Durga antuk jejibahan nguwasani para gandarwa, setan lan titah datan kasat mata liyane kang asipat durangkara. Ing jagad pewayangan, wandane Bathari Durga iku arupa Rangkung/raseksi.
Dene Dewi Umayi (jiwane Dewi Umayi kang manjing ing ragane Dewi Pramuni) iku watake sabar, rasa pangrasane alus sarta landhep, adil, wani mbelani bebener, tanggung jawab, bekti mring sisihane lan gemati marang anak turune.
Kanggo nggayuh ketemune rasa tresnane marang Bathara Guru, sawijining dina Dewi Pramuni tapa brata. Sawise nemoni maneka rupa pacoban lan godhan, wusanane katekan Bathara Guru, Dewi Umayi lan Bathara Kala.
Ing wawanrembug antarane Bathara Guru lan Dewi Pramuni, adhedhasar andharan ing Kitab Purwacarita, kaya kang kapethik ing buku Ensiklopedi Wayang Purwa, weton Balai Pustaka, Bathara Guru gelem nyembadani pepenginane Dewi Pramuni kang pengin dadi prameswarine.
Ananging ora kabul sakabehe, amarga mung tata lair wae sing bisa dadi prameswarine Bathara Guru. Dene jiwane ora bisa dadi prameswarine panguwasa tribuwana iku.
Amarga kasektene Bathara Guru, Dewi Umayi lan Dewi Pramuni banjur ijolan raga. Jiwane Dewi Umayi manjing ing ragane Dewi Pramuni, lan suwalike jiwane Dewi Pramuni manjing ing ragane Dewi Umayi kang arupa raseksi.
Adhedhasar andharan ing buku Ensiklopedi Wayang Purwa, weton Balai Pustaka, Dewi Pramuni (jiwane Dewi Pramuni kang manjing ing ragane raseksi Dewi Umayi sabanjure antuk jejuluk Bathari Durga kang tegese kuciwa, ala, ora nyenengake. Lan sabanjure Dewi Durga dipacangake kalawan Bathara Kala.
Lan wiwit wektu iku, Bathari Durga disembah dening para kang ngrasuk agama Durga. Bathari Durga katetepake dumunung ing kayangan Krendayana. Kayangan iku sabanjure kondhang sinebut pasetran Gandamayit/Ganda Umayi.
Bathari Durga antuk jejibahan nguwasani para gandarwa, setan lan titah datan kasat mata liyane kang asipat durangkara. Ing jagad pewayangan, wandane Bathari Durga iku arupa Rangkung/raseksi.
Dene Dewi Umayi (jiwane Dewi Umayi kang manjing ing ragane Dewi Pramuni) iku watake sabar, rasa pangrasane alus sarta landhep, adil, wani mbelani bebener, tanggung jawab, bekti mring sisihane lan gemati marang anak turune.
Saturday, December 5, 2009
Serat TRIPAMA - Joko Raharjo
Ini adalah buku karangan Mangkunegoro IV,yg menceriterakan watak 3 orang satria yg membela kehormatan negaranya.
Mereka adalah Sumantri (Patih Suwondo), Adipati Karno (Basukarno )dan Kumbokarno.
*Sumantri*
Dandanggula.
Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama”.
Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.
Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama.
Sumantri bisa dikatakan anak muda yg ambisinya tinggi untuk mencapai cita citanya sbg prajurit yg unggul.Bahkan pada awal pengabdiannya,dia sudah berani mencoba kemampuan boss-nya (Prabu Harjuno Sasrabahu).
Dia memperoleh kedudukan sebagai patih setelah berhasil menaklukkan negara Magada dan memindahkan taman Sriwedari.
Dalam cerita"Sumantri Ngenger" pemindahan taman Sriwedari,Sumantri dibantu oleh adiknya Sukrosono,yg berwajah jelek/raksasa.Karena malu kpd boss-nya,Sumantri minta adiknya untuk pulang,tetapi Sukrosono tidak mau.Dia ingin ikut kakaknya menghadap Prabu Harjuno Sasrabahu.Karena emosi,Sumantri menakut nakuti adiknya dg panah.Tanpa sengaja,panah terlepas,Sukrosono pun mati.
Sumantri mati saat membela negaranya melawan Rahwana/Dasamuko.
*Basukarno /Adipati Karno*
Salah seorang panglima perang Kurawa.
Dia adalah saudara tertua Pandawa..
Waktu lahir,dia dibuang oleh ibunya (Kunti),karena malu..Kunti waktu itu belum nikah,Karno lahir akibat cinta gelapnya dg Batara Surya..Karno akhirnya ditemukan oleh seorang kusir Adirata.Karena kesaktiannya,dia memperoleh pangkat adipati yg diberikan oleh raja Hastina (Duryudono/sulung dr Kurawa).
Karena itulah dia membela Kurawa ( orang yg telah memberinya kemuliaan dari asalnya yg anak kusir ),walaupun untuk itu ia harus melawan saudaranya sendiri (Pandawa).
Dalam cerita "Kresno Duto ",setelah dari Hastina,Kresna menjemput Kunti dan diajak bertemu dg Adipati Karno..Waktu itu Kunti membujuk Karno spy berpihak kpd saudaranya (Pandawa).Karno menolak,karena selama ini yg memberikan kemuliaan adalah Hastina (Kurawa) bukan Pandawa..bahkan sbg anakpun dia telah dibuang oleh Ibu kandungnya sendiri.Bahkan kpd Kresna,Karno bilang dia akan maju membela Kurawa.Dia tetap di pihak Kurawa,spy dapat manas -manasi Duryodono agar tetap mau berperang dg Pandawa(Perang Baratayuda ).Dia tahu bahwa Kurawa salah,kalau Baratayuda tidak terjadi..maka yg salah itu tetap berkuasa.Perang Baratayuda adalah "pembalasan"...sopo sing nandur bakal ngunduh.Akhirnya Karno mati dalam perang tanding dg Arjuna.
Karno mati dalam membela negara yg telah memberinya kemuliaan.
Karno kalah karena telah kehilangan senjata "Kunto"andalannya.( Dalam cerita Gatutkaca gugur,Kresno mengajak Gatutkaca untuk berkorban ,dg cara memancing Karno untuk melepaskan senjata Kunto -nya.Karena dia tahu,selama Karno masih punya
senjata Kunto,Arjuno pasti kalah dalam perang tanding.Gatutkaca gugur oleh senjata Kunto )
Mereka adalah Sumantri (Patih Suwondo), Adipati Karno (Basukarno )dan Kumbokarno.
*Sumantri*
Dandanggula.
Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama”.
Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.
Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama.
Sumantri bisa dikatakan anak muda yg ambisinya tinggi untuk mencapai cita citanya sbg prajurit yg unggul.Bahkan pada awal pengabdiannya,dia sudah berani mencoba kemampuan boss-nya (Prabu Harjuno Sasrabahu).
Dia memperoleh kedudukan sebagai patih setelah berhasil menaklukkan negara Magada dan memindahkan taman Sriwedari.
Dalam cerita"Sumantri Ngenger" pemindahan taman Sriwedari,Sumantri dibantu oleh adiknya Sukrosono,yg berwajah jelek/raksasa.Karena malu kpd boss-nya,Sumantri minta adiknya untuk pulang,tetapi Sukrosono tidak mau.Dia ingin ikut kakaknya menghadap Prabu Harjuno Sasrabahu.Karena emosi,Sumantri menakut nakuti adiknya dg panah.Tanpa sengaja,panah terlepas,Sukrosono pun mati.
Sumantri mati saat membela negaranya melawan Rahwana/Dasamuko.
*Basukarno /Adipati Karno*
Salah seorang panglima perang Kurawa.
Dia adalah saudara tertua Pandawa..
Waktu lahir,dia dibuang oleh ibunya (Kunti),karena malu..Kunti waktu itu belum nikah,Karno lahir akibat cinta gelapnya dg Batara Surya..Karno akhirnya ditemukan oleh seorang kusir Adirata.Karena kesaktiannya,dia memperoleh pangkat adipati yg diberikan oleh raja Hastina (Duryudono/sulung dr Kurawa).
Karena itulah dia membela Kurawa ( orang yg telah memberinya kemuliaan dari asalnya yg anak kusir ),walaupun untuk itu ia harus melawan saudaranya sendiri (Pandawa).
Dalam cerita "Kresno Duto ",setelah dari Hastina,Kresna menjemput Kunti dan diajak bertemu dg Adipati Karno..Waktu itu Kunti membujuk Karno spy berpihak kpd saudaranya (Pandawa).Karno menolak,karena selama ini yg memberikan kemuliaan adalah Hastina (Kurawa) bukan Pandawa..bahkan sbg anakpun dia telah dibuang oleh Ibu kandungnya sendiri.Bahkan kpd Kresna,Karno bilang dia akan maju membela Kurawa.Dia tetap di pihak Kurawa,spy dapat manas -manasi Duryodono agar tetap mau berperang dg Pandawa(Perang Baratayuda ).Dia tahu bahwa Kurawa salah,kalau Baratayuda tidak terjadi..maka yg salah itu tetap berkuasa.Perang Baratayuda adalah "pembalasan"...sopo sing nandur bakal ngunduh.Akhirnya Karno mati dalam perang tanding dg Arjuna.
Karno mati dalam membela negara yg telah memberinya kemuliaan.
Karno kalah karena telah kehilangan senjata "Kunto"andalannya.( Dalam cerita Gatutkaca gugur,Kresno mengajak Gatutkaca untuk berkorban ,dg cara memancing Karno untuk melepaskan senjata Kunto -nya.Karena dia tahu,selama Karno masih punya
senjata Kunto,Arjuno pasti kalah dalam perang tanding.Gatutkaca gugur oleh senjata Kunto )
Kumbokarno - Eky
Kumbakarna .....
Adik dari Rahwana (Dasamuka).
Anak ke-2 dari Wisrawa - Sukesi yg lahir pada suasana bathin penyesalan.
Itulah sebabnya Kumbakarna memiliki sifat welas asih, mudah merasa bersalah, emphatic. Sangat bertolak belakang dengan fisiknya yg nggegirisi.
Kumbakarna tahu bahwa kakaknya jahat dan sudah berusaha mengingatkan, namun Rahwana sangat marah dan balik mencaci-maki. Galau dan tidak ingin terlibat perbuatan kakaknya, dia pergi bertapa.
Ketika Alengka dihancurkan oleh bala tentara Rama Wijaya, rakyat Alengka menjadi korban, Kumbakarna tidak rela. Dia hentikan semedinya, bangkit untuk melawan agresor. Bukan untuk membela Rahwana namun untuk membela rakyat dan tanah-airnya.
Nyawane diuntapke Lesmana, adik Rama.
Dari kahyangan, para bidadari menabur bunga untuk gugurnya Kumbakarna.
Selamat jalan pahlawan Alengka .....
Adik dari Rahwana (Dasamuka).
Anak ke-2 dari Wisrawa - Sukesi yg lahir pada suasana bathin penyesalan.
Itulah sebabnya Kumbakarna memiliki sifat welas asih, mudah merasa bersalah, emphatic. Sangat bertolak belakang dengan fisiknya yg nggegirisi.
Kumbakarna tahu bahwa kakaknya jahat dan sudah berusaha mengingatkan, namun Rahwana sangat marah dan balik mencaci-maki. Galau dan tidak ingin terlibat perbuatan kakaknya, dia pergi bertapa.
Ketika Alengka dihancurkan oleh bala tentara Rama Wijaya, rakyat Alengka menjadi korban, Kumbakarna tidak rela. Dia hentikan semedinya, bangkit untuk melawan agresor. Bukan untuk membela Rahwana namun untuk membela rakyat dan tanah-airnya.
Nyawane diuntapke Lesmana, adik Rama.
Dari kahyangan, para bidadari menabur bunga untuk gugurnya Kumbakarna.
Selamat jalan pahlawan Alengka .....
Bolokurowo - Moel
Duryodana utawa Duryudana iku ratu ing Ngastina (Hastina) Ing layang Mahabharata disebut Droyudhana. Dasanamane miturut padhalangan: Suyudana, Jakapitana,Jayapitana, Kurupati, Gendharisuta, Dhasthaputra, Tri Mamangsah. Duryudana iku putrane Prabu Dhestharastra lan Dewi Gendhari sing tuwa dhéwé. Nalika lair ora salumrahe bayi, nanging wujud tengkelan daging, kaya tugelan daging kebo. Daging mau polah kroncalan. Dening Dewi Gendari daging ditendhang sakayange, satemah sigar dadi loro. Dewi Gendari saya duka. Sigarane daging sing sijine diidhak-idhak, satemah ajur dadi pirang-pirang, pating kruget kaya singgat. Daging mau banjur ditutupi godhong lumbu. Daging sing gedhe dhewe dadi bayi loro, Duryudana lan Dursasana. Dene daging sing cilik-cilik dadi adhi-adhine kang banjur karan Sata Kurawa. Tembung Sata tegese satus (senadyan cacahe 101), dene Kurawa kuwi mengku teges darah Kuru. Duryudana sa adhi-adhine kuwi watake angkara murka, srei, jail-methakil, jalaran tansah diapusi lan diojok-ojoki dening bapa pamane, Patih Harya Sengkuni (Sakuni). Bedha karo Prabu Dasamuka, nata ing Ngalengka kae, senajan padha-padha watake angkara murka, nanging yen Dasamuka kabeh tumindhake sing angkara murka iku tukul seka prentule atine dhewe. Dene yen Duryudana anggone nduweni watak angkara murka merga disetir dening Patih Sengkuni. Mula Duryudana iya banjur tansah mungsuhi marang para Pandhawa.
Prabu Sentanu (2) - Moel
DEWI DURGANDINI atmajane Prabu Basuparicara. Sang Dewi uga peparab Ratu Amis awit dadi anak angkate Kaki Dasabala juru misaya mina ing kali Jamuna. Nembe sawatara candra wis kacarita sawise diusadani dening Begawan Parasara gandane kang maune amis dadi wangi, njur kaparingan asma Dewi Sayojanagandhi. Nadyan paraga siji nanging lakone dawa, mangka aken lelakone Sang Dewi kang perlu cinaritakake, mula bakal katur lelakon candhake kang luwih wigati ing atase putri kang nerusake darahing para leluhure Kurawa lan Pandhawa.
Dewi Sayojanagandhi sawise nglairake Sang Dwipayana, ora banjur diulihake marang Kaki Dasabala, nanging ndherek mentas menyang dharatan kanthi ngemban bayi Wiyasa. Nuli manjing ing alas Kurujanggala. Ana ing kono Begawan Parasara nerusake anggone nggentur tapa muja semadi. Saka wantering pamuja, sanalika ing alas Kurujanggala makjenggeleg dadi negara, nuli diarani negara Kurujanggala., Astina, Gajahoya, jangkep dalasan kedhaton saubarampene pisan, para nayaka lan para wadyabala. Begawan Parasara jumeneng ratu ing Negara Kurujanggala ajejuluk Prabu Dipakeswara, patihe apeparab Rekyana Patih Andakawana, Si prameswarine Dewi Sayojanagandhi, Sugandini, Gandawati, ya Dewi Setyawati.
Kacarita lagi antuk sawatera warsa anggone jumeneng narendra ing Kurujanggala, Prabu Dipakeswara karawuhan Pandhita ing Talkandha asma Begawan Sentanu. Rawuhe ing Kurujanggala karo ngemban jabang bayi Dewabrata. Sang Begawan mentas kasedan garwahe yaiku Dewi Gangga (seda nalika nglairake).
Amarga sulaya ing rembug, Prabu Dipakeswara banjur pancakara lumawan Begawan Sentanu. Perange pirahg-pirang dina ora ana kang kalah utawa menang nganti nukulake gara-gara. Ponang gara-gara nganti sumundhul ing Kahyangan. Salendrabawana. Sanghyang Bathara Narada misah kang padha andon yuda.
“Pragenjong-pragenjong waru dhoyong ditegor nguwong, yen buntu alu sempronge bolong, dhasar sing wedok ayu moblong-moblong. Mengko ta kaki Sentanu apadene sira kaki Prabu Dipakeswara. Ulun ngemban dhawuhing Sang Hyang Giripati andikakake misah sira sakarone. Sawuse mendha anggonira andon yuda, dhawuhe pukulun Bathara Guru mangkene. Kakang Resi Kaneka putra ndika dhawuhaken dhateng Kaki Prabu Dipakeswara supados ngrilakaken Dewi Sayojanagandhi lan nagari Kurujanggala sakaprabonipun. Wondene Dewi SUgandhini lan Nagari Ngastina supados kaparingaken dhumateng Begawan Sentanu. Wondene Begawan Parasara lan Kaki Kresna Dwipayana kadhawuhan wangsul wonten ing pratapan Saptarengga nglajengaken kasutapanipun. Mangkono kaki dhawuhe Sang Hyang Giripati marang ulun tumanduk marang sira kekarone.”
Sang parasara ngestokake dhawuhing jawata lan nedya mbacutake nggone tapa brata, tumuli oncat saka Negara Kurujanggala kanthi ngemban jabang bayi Wiyasa tumuju marang pertapan Saptaarga. Sapungkure Bathara Narada lan Sang Parasara, Sang Sentanu nuli jumeneng nata ing Negara Ngastina lan nggarwa Dewi Sayojanagandhi, banjur duwe kewajiban nggulawenthah Dewabrata. Mung ana panyuwune Dewi Durgandini, mbesuk yen kagungan putra kakung supaya dijumenengake ratu gumanti angrenggani Negara Ngastina. Panyuwun mau disaguhi dening Sang Sentanu. Sabanjure Sang Sentanu anggone nggarwa Dewi Durgandini kagungan putra kakung loro, Citragada lan Citrasena (Wicitrawirya).
Kacarita sasedane Prabu Sentanu, Sang Citragada dijumenengake ratu dening Dewabrata saka dhawuh pamrayogane Dewi Durgandhini. Prabu Citragada yuswane ora pati dawa, jalaran kaperjaya dening retuning gandarwa kang apeparab Prabu Citragada. Amarga madhani asmane sang gandarwa raja, temah dadi pasulayan, kang wusanane Prabu Citragada kadange Sang Bhisma gugur jroning adu kadigdayan lan kanuragan. Dicaritakake anggone bandayuda nganti telung sasi.
Ing sasedane Prabu Citragada, amarga Sang Prabu durung peputra, mandar nambut silaning akrama wae durung, kang gumanti jumeneng kaprabon ing Negara Ngastina Sang Citrawirya. Rehne Sang Citrawirya durung palakrama, Sang Bhisma tansah kulak warta, ing ngendi ana raja putrid kang pantes dadi prameswrine sang prabu. Kebeneran nalika semana ing Negara Kasi ana sayembara nganakake sayembara kanggo malakramakakke putri telu: Dewi Amba, Ambika, lan Ambalika, Sang Bhisma ngleboni sayembara Kasi , kang wusanane bisa mboyong putri telu mau menyang Negara Ngastina. Putri kang tuwa dhewe, Dewi Amba, matur marang Sang Bhisma, yen sabenere dheweke wis pacangan karo Prabu Salwa ratu ing Negara Soba. Sang Bhisma marengake, mulane Dewi Ambika lan Ambalika nuli kadhaupake karo Prabu Citrawirya awit saka palilahe Dewi Durgandhini uga Sang Bhisma. Dadi, sawuse nemahi lelakon kang warna-warna mau Dewi Durgandhini isih tetep setya angembani angemong para putra-putrane kang padha jumeneng narendra ing Negara Ngastina.
Dewi Sayojanagandhi sawise nglairake Sang Dwipayana, ora banjur diulihake marang Kaki Dasabala, nanging ndherek mentas menyang dharatan kanthi ngemban bayi Wiyasa. Nuli manjing ing alas Kurujanggala. Ana ing kono Begawan Parasara nerusake anggone nggentur tapa muja semadi. Saka wantering pamuja, sanalika ing alas Kurujanggala makjenggeleg dadi negara, nuli diarani negara Kurujanggala., Astina, Gajahoya, jangkep dalasan kedhaton saubarampene pisan, para nayaka lan para wadyabala. Begawan Parasara jumeneng ratu ing Negara Kurujanggala ajejuluk Prabu Dipakeswara, patihe apeparab Rekyana Patih Andakawana, Si prameswarine Dewi Sayojanagandhi, Sugandini, Gandawati, ya Dewi Setyawati.
Kacarita lagi antuk sawatera warsa anggone jumeneng narendra ing Kurujanggala, Prabu Dipakeswara karawuhan Pandhita ing Talkandha asma Begawan Sentanu. Rawuhe ing Kurujanggala karo ngemban jabang bayi Dewabrata. Sang Begawan mentas kasedan garwahe yaiku Dewi Gangga (seda nalika nglairake).
Amarga sulaya ing rembug, Prabu Dipakeswara banjur pancakara lumawan Begawan Sentanu. Perange pirahg-pirang dina ora ana kang kalah utawa menang nganti nukulake gara-gara. Ponang gara-gara nganti sumundhul ing Kahyangan. Salendrabawana. Sanghyang Bathara Narada misah kang padha andon yuda.
“Pragenjong-pragenjong waru dhoyong ditegor nguwong, yen buntu alu sempronge bolong, dhasar sing wedok ayu moblong-moblong. Mengko ta kaki Sentanu apadene sira kaki Prabu Dipakeswara. Ulun ngemban dhawuhing Sang Hyang Giripati andikakake misah sira sakarone. Sawuse mendha anggonira andon yuda, dhawuhe pukulun Bathara Guru mangkene. Kakang Resi Kaneka putra ndika dhawuhaken dhateng Kaki Prabu Dipakeswara supados ngrilakaken Dewi Sayojanagandhi lan nagari Kurujanggala sakaprabonipun. Wondene Dewi SUgandhini lan Nagari Ngastina supados kaparingaken dhumateng Begawan Sentanu. Wondene Begawan Parasara lan Kaki Kresna Dwipayana kadhawuhan wangsul wonten ing pratapan Saptarengga nglajengaken kasutapanipun. Mangkono kaki dhawuhe Sang Hyang Giripati marang ulun tumanduk marang sira kekarone.”
Sang parasara ngestokake dhawuhing jawata lan nedya mbacutake nggone tapa brata, tumuli oncat saka Negara Kurujanggala kanthi ngemban jabang bayi Wiyasa tumuju marang pertapan Saptaarga. Sapungkure Bathara Narada lan Sang Parasara, Sang Sentanu nuli jumeneng nata ing Negara Ngastina lan nggarwa Dewi Sayojanagandhi, banjur duwe kewajiban nggulawenthah Dewabrata. Mung ana panyuwune Dewi Durgandini, mbesuk yen kagungan putra kakung supaya dijumenengake ratu gumanti angrenggani Negara Ngastina. Panyuwun mau disaguhi dening Sang Sentanu. Sabanjure Sang Sentanu anggone nggarwa Dewi Durgandini kagungan putra kakung loro, Citragada lan Citrasena (Wicitrawirya).
Kacarita sasedane Prabu Sentanu, Sang Citragada dijumenengake ratu dening Dewabrata saka dhawuh pamrayogane Dewi Durgandhini. Prabu Citragada yuswane ora pati dawa, jalaran kaperjaya dening retuning gandarwa kang apeparab Prabu Citragada. Amarga madhani asmane sang gandarwa raja, temah dadi pasulayan, kang wusanane Prabu Citragada kadange Sang Bhisma gugur jroning adu kadigdayan lan kanuragan. Dicaritakake anggone bandayuda nganti telung sasi.
Ing sasedane Prabu Citragada, amarga Sang Prabu durung peputra, mandar nambut silaning akrama wae durung, kang gumanti jumeneng kaprabon ing Negara Ngastina Sang Citrawirya. Rehne Sang Citrawirya durung palakrama, Sang Bhisma tansah kulak warta, ing ngendi ana raja putrid kang pantes dadi prameswrine sang prabu. Kebeneran nalika semana ing Negara Kasi ana sayembara nganakake sayembara kanggo malakramakakke putri telu: Dewi Amba, Ambika, lan Ambalika, Sang Bhisma ngleboni sayembara Kasi , kang wusanane bisa mboyong putri telu mau menyang Negara Ngastina. Putri kang tuwa dhewe, Dewi Amba, matur marang Sang Bhisma, yen sabenere dheweke wis pacangan karo Prabu Salwa ratu ing Negara Soba. Sang Bhisma marengake, mulane Dewi Ambika lan Ambalika nuli kadhaupake karo Prabu Citrawirya awit saka palilahe Dewi Durgandhini uga Sang Bhisma. Dadi, sawuse nemahi lelakon kang warna-warna mau Dewi Durgandhini isih tetep setya angembani angemong para putra-putrane kang padha jumeneng narendra ing Negara Ngastina.
Prabu Sentanu (1) - Moel
Prabu Sentanu memanggil Dewabrata dan menceritakan tentang ibunya. Ibu Dewabrata bernama Dewi Ganggawati. Dewi Ganggawati dihukum untuk turun ke bumi karena pada saat pisowanan agung bajunya tersibak tertiup angina. Hal itu mengganggu para dewa yang juga hadir dalam pisowanan agung tersebut. Sesampainya di bumi, Ganggawati bertemu dengan 8 wasu. Kedelapan wasu tersebut karena telah berbuat tidak sopan kepada sang guru sehingga mereka diusir. Untuk itu mereka memohon bantuan kepada Dewi Ganggawati. Karena kasihan, Dewi Ganggawati bersedia membantu mereka. Ganggawati akan melahirkan mereka kembali secara berurutan setelah ia mendapatkan suami. Para wasu gembira mendengar kata-kata Ganggawati dan berterima kasih padanya.
Ganggawati bertemu dengan Prabu Sentanu di sungai Gangga. Pada saat itu juga Prabu Sentanu melamarnya. Dewi Ganggawati menerimanya asal Prabu Sentanu tidak menanyakan asal usulnya dan tidak menegur perbuatannya. Prabu Sentanu menyanggupinya. Setelah menjadi sepasang suami istri, Prabu Sentanu melihat Ganggawati membuang bayi yang baru saja dilahirkannya. Setelah bayi yang kedelapan, Prabu Sentanu tidak tahan lagi. Saat bayi kesembilan digendong Ganggawati, Prabu Sentanu menghadangnya dan mencegahnya dengan nada tinggi. Ganggawati terkejut dan menjelaskan semuanya. Karena Prabu Sentanu telah mengingkari janji, Dewi Ganggawati meninggalkannya.
Prabu Sentanu meminta maaf kepada Dewabrata karena telah membuatnya terpisah dari ibunya dan kehilangan tahta kerajaan. Meskipun yakin bahwa ayahandanya tisak bersalah, Dewabrata memaafkannya.
bersambung
Ganggawati bertemu dengan Prabu Sentanu di sungai Gangga. Pada saat itu juga Prabu Sentanu melamarnya. Dewi Ganggawati menerimanya asal Prabu Sentanu tidak menanyakan asal usulnya dan tidak menegur perbuatannya. Prabu Sentanu menyanggupinya. Setelah menjadi sepasang suami istri, Prabu Sentanu melihat Ganggawati membuang bayi yang baru saja dilahirkannya. Setelah bayi yang kedelapan, Prabu Sentanu tidak tahan lagi. Saat bayi kesembilan digendong Ganggawati, Prabu Sentanu menghadangnya dan mencegahnya dengan nada tinggi. Ganggawati terkejut dan menjelaskan semuanya. Karena Prabu Sentanu telah mengingkari janji, Dewi Ganggawati meninggalkannya.
Prabu Sentanu meminta maaf kepada Dewabrata karena telah membuatnya terpisah dari ibunya dan kehilangan tahta kerajaan. Meskipun yakin bahwa ayahandanya tisak bersalah, Dewabrata memaafkannya.
bersambung
Semar (4) - Moel
Di cerita Ramayana atau Mahabarata versi asli, tokoh Semar tidak dikenal. Semar adalah tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal asli jawa, di Jawa Tengah Semar punya anak, Petruk, Gareng, dan Bagong, pindah ke Jawa Timur, anak semar tinggal satu yaitu Bagong, dan Bagong sendiri punya anak namanya Besut, sedang kalau pindah ke Jawa Barat, anak Semar menjadi Cepot, Dawala dan Gareng. Ada banyak versi garis keturunan Semar, baik garis keatas ke para leluhur, maupun ke bawah garis anak -cucu.
Tipologi Semar dalam mitologi jawa adalah seorang penasehat, dalam perang Baratayuda versi asli penasehat pendawa adalah Kresna seorang, tapi dalam wayang jawa penasehatnya tambah satu Semar. Dalam cerita Ramayana Semar berperan sebagai pengasuh keluarga Sri Rama. Jadi nampaknya Semar ada dimana-mana . Dalam karya sastra jawa Semar bukan rakyat jelata, Semar adalah penjelmaan Batara Ismaya , kakak Batara Guru raja para dewa.
Tokoh Semar adalah perlambang kebijakan wong cilik, karena perannya sebagai pengasuh, abdi, batur atau rewang tetapi sisi lain nya Semar dengan maha kesaktian mampu mengalahkan dewa, bisa jadi ini adalah cara orang jawa menjelaskan konsep adagium latin yang sangat kesohor ”Vox populi vox dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya penguasa, pengendali aturan, yang tidak mendengar suara rakyat maka tinggal tunggu waktunya dia akan dikutuk Tuhan.
Figur Semar selalu melambangkan dua sisi yang saling berlawanan, ini bisa jadi menjelaskan akan keluasan karakter semar mewakili rakyat, coba perhatikan figur Semar dengan kuncung nya, dia melambangkan kanak-kanak, namun wajahnya sangat tua. Mulutnya tertawa tapi matanya selalu menangis, Semar berdiri sekaligus jongkok. Dalam perilakunya Semar tidak pernah menyuruh, namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya. Ya dialah Semar satu figur dengan dua karakter, kawula sekaligus dewata.
Kita bisa jadi mengenal banyak Superhero, dari Superman yang bisa terbang, Batman yang bisa menggantung laksana kelelawar, Naruto dengan ilmu kanuragan ninja nya sampai AstroBoy yang bisa terbang dengan roket yang ada di kaki.
Bagaimana dengan Semar sang superhero ala jawa ini ?, apa senjata pamungkasnya ?, (maaf), kentut..., senjata pamungkas yang bisa jadi tak pernah terpikir oleh pencipta superhero lain di seluruh dunia. Kentut Semar jadi senjata pamungkas yang digunakan ketika seluruh kesaktian pandawa tak mempan melawan musuhnya. Kentut Semar konon tidak untuk membunuh, kentut semar menyadarkan. Meski mempunyai senjata yang ampuh, namun Semar bukan typikal pengumbar kentut, dia melepaskannya hanya ketika, seorang Semar harus mengingatkan adanya kesewenangan, dan adanya penyimpangan akan pakem. Menarik untuk disimak pemikiran sang pujangga lokal pencipta tokoh Semar, menempatkan kentut sebagai senjata utama Semar, bisa jadi itu bagian budaya jawa, yang para Raja-Rajanya penuh aturan yang kaku, namun rakyatnya bebas guyon mentertawakan diri sendiri, apalagi yang bisa lebih bebas dibicarakan tanpa aturan dibanding ketika membahas persoalan senjata pamungkas Semar ini ?
”Semar sedang kentut, dan menebar aroma tak sedap kemana – mana, kentut yang tidak membunuh tapi mengingatkan.
Sebagai orang jawa saya faham benar bagaimana filosofi Semar menyampaikan pesan.
Begitulah cara Semar sebagai rakyat (jawa) mengingatkan, ketika melihat mulai ada ketidak beresan, dia diam meskipun ”mbathin”, jika ketidak beresan terus ada, dihadapan sang penguasa, Semar akan tetap membungkuk takzim, meski sisi lainnya Sang Semar kentut. Kentut pengingat. Jika penguasa tetap tak menyadari nya, maka Sang Semar akan makin sering menebar kentutnya, hingga memenuhi ruang dengan aroma tak sedap. Semakin tak diindahkan, semakin sering Semar kentut, semakin sering kentut, matanya semakin berair, bahkan lama-lama Semar menangis suaranya menyayat hati. ”le...le..le.., lha dalah...lha dalah...” sambil kepala mengeleng geleng, seperti batinnya menolak sesuatu, tangan kiri mengacung-acung ke atas menunjuk ke langit, seolah mengingatkan, diatas ada yang Maha Tunggal, dan tangan kanan menunjuk kebawah, seolah menunjuk ke bumi, memberi penjelasan banyak kawula di belantara bumi, sehingga janganlah menjadi menara gading, penuh bangga namun sendirian, tak membumi, tak dikenal kawula. Dan ketika sang penguasa tetap juga tidak mendengar, mata sang Semar tak bisa lagi melihat dengan jernih lantaran dipenuhi air mata, Semar akan mengamuk. Kalau Semar sudah mengamuk, siapa lagi yang mampu menghentikannya? , Semar bisa tidak peduli lagi aturan tatakrama yang berlaku, bahkan Dewa pemegang kendali aturanpun, tak kan mampu menghentikannya.
Ah Dulur...., adakah dulur mencium aroma kentut semar..?, adakah dulur dengar tangis Semar yang menyayat hati...?, semoga Semar tidak mengamuk.
Jika hari-hari ini dulur merasa mulai sesak dengan aroma tak sedap, jika hari-hari ini hati dulur terasa sedih ”mendengar”, tangisan yang menyayat, berbahagialah.... dulur masih punya nurani, konon kata pak dalang, hanya orang yang punya nurani yang bisa melihat kehadiran Semar.
”Le...le...le....,lha dalah...lha dalah.....”
Tipologi Semar dalam mitologi jawa adalah seorang penasehat, dalam perang Baratayuda versi asli penasehat pendawa adalah Kresna seorang, tapi dalam wayang jawa penasehatnya tambah satu Semar. Dalam cerita Ramayana Semar berperan sebagai pengasuh keluarga Sri Rama. Jadi nampaknya Semar ada dimana-mana . Dalam karya sastra jawa Semar bukan rakyat jelata, Semar adalah penjelmaan Batara Ismaya , kakak Batara Guru raja para dewa.
Tokoh Semar adalah perlambang kebijakan wong cilik, karena perannya sebagai pengasuh, abdi, batur atau rewang tetapi sisi lain nya Semar dengan maha kesaktian mampu mengalahkan dewa, bisa jadi ini adalah cara orang jawa menjelaskan konsep adagium latin yang sangat kesohor ”Vox populi vox dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya penguasa, pengendali aturan, yang tidak mendengar suara rakyat maka tinggal tunggu waktunya dia akan dikutuk Tuhan.
Figur Semar selalu melambangkan dua sisi yang saling berlawanan, ini bisa jadi menjelaskan akan keluasan karakter semar mewakili rakyat, coba perhatikan figur Semar dengan kuncung nya, dia melambangkan kanak-kanak, namun wajahnya sangat tua. Mulutnya tertawa tapi matanya selalu menangis, Semar berdiri sekaligus jongkok. Dalam perilakunya Semar tidak pernah menyuruh, namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya. Ya dialah Semar satu figur dengan dua karakter, kawula sekaligus dewata.
Kita bisa jadi mengenal banyak Superhero, dari Superman yang bisa terbang, Batman yang bisa menggantung laksana kelelawar, Naruto dengan ilmu kanuragan ninja nya sampai AstroBoy yang bisa terbang dengan roket yang ada di kaki.
Bagaimana dengan Semar sang superhero ala jawa ini ?, apa senjata pamungkasnya ?, (maaf), kentut..., senjata pamungkas yang bisa jadi tak pernah terpikir oleh pencipta superhero lain di seluruh dunia. Kentut Semar jadi senjata pamungkas yang digunakan ketika seluruh kesaktian pandawa tak mempan melawan musuhnya. Kentut Semar konon tidak untuk membunuh, kentut semar menyadarkan. Meski mempunyai senjata yang ampuh, namun Semar bukan typikal pengumbar kentut, dia melepaskannya hanya ketika, seorang Semar harus mengingatkan adanya kesewenangan, dan adanya penyimpangan akan pakem. Menarik untuk disimak pemikiran sang pujangga lokal pencipta tokoh Semar, menempatkan kentut sebagai senjata utama Semar, bisa jadi itu bagian budaya jawa, yang para Raja-Rajanya penuh aturan yang kaku, namun rakyatnya bebas guyon mentertawakan diri sendiri, apalagi yang bisa lebih bebas dibicarakan tanpa aturan dibanding ketika membahas persoalan senjata pamungkas Semar ini ?
”Semar sedang kentut, dan menebar aroma tak sedap kemana – mana, kentut yang tidak membunuh tapi mengingatkan.
Sebagai orang jawa saya faham benar bagaimana filosofi Semar menyampaikan pesan.
Begitulah cara Semar sebagai rakyat (jawa) mengingatkan, ketika melihat mulai ada ketidak beresan, dia diam meskipun ”mbathin”, jika ketidak beresan terus ada, dihadapan sang penguasa, Semar akan tetap membungkuk takzim, meski sisi lainnya Sang Semar kentut. Kentut pengingat. Jika penguasa tetap tak menyadari nya, maka Sang Semar akan makin sering menebar kentutnya, hingga memenuhi ruang dengan aroma tak sedap. Semakin tak diindahkan, semakin sering Semar kentut, semakin sering kentut, matanya semakin berair, bahkan lama-lama Semar menangis suaranya menyayat hati. ”le...le..le.., lha dalah...lha dalah...” sambil kepala mengeleng geleng, seperti batinnya menolak sesuatu, tangan kiri mengacung-acung ke atas menunjuk ke langit, seolah mengingatkan, diatas ada yang Maha Tunggal, dan tangan kanan menunjuk kebawah, seolah menunjuk ke bumi, memberi penjelasan banyak kawula di belantara bumi, sehingga janganlah menjadi menara gading, penuh bangga namun sendirian, tak membumi, tak dikenal kawula. Dan ketika sang penguasa tetap juga tidak mendengar, mata sang Semar tak bisa lagi melihat dengan jernih lantaran dipenuhi air mata, Semar akan mengamuk. Kalau Semar sudah mengamuk, siapa lagi yang mampu menghentikannya? , Semar bisa tidak peduli lagi aturan tatakrama yang berlaku, bahkan Dewa pemegang kendali aturanpun, tak kan mampu menghentikannya.
Ah Dulur...., adakah dulur mencium aroma kentut semar..?, adakah dulur dengar tangis Semar yang menyayat hati...?, semoga Semar tidak mengamuk.
Jika hari-hari ini dulur merasa mulai sesak dengan aroma tak sedap, jika hari-hari ini hati dulur terasa sedih ”mendengar”, tangisan yang menyayat, berbahagialah.... dulur masih punya nurani, konon kata pak dalang, hanya orang yang punya nurani yang bisa melihat kehadiran Semar.
”Le...le...le....,lha dalah...lha dalah.....”
Semar (3) - Moel
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dlam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dlam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Semar (3) - Joko Raharjo
"Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap…begitu biasanya dalang ngethuprus" Mbahku tiba-tiba amnesia dan aku baru nyadar bahwa dia sama ngethuprusnya dengan ki dalang.
"Setting situasinya jelas suasana yang `chaos' dan ditandai gunung meletus, bukit ambrol segoro sat dan panggeblug yang datang"
Begitu lah awalnya penderitaanku diperkosa oleh simbah yang rindu jaman raja. Berjam-jam lamanya setelah itu, alamku dikuasai oleh negeri entah berantah dan nama-nama yang walau kukenal tetaplah terasa asing. Pada tarikan pertama sandal bandrol, selop, sepatu boot atau amben tingkat lebih menakutkanku, sehingga mata yang sudah lima watt mesti di guyur bergelas-gelas kopi agar bisa lebih mendhelo.
Lalu pelan-pelan, Semar, Petruk, Gareng dan Bagong mulai menari-nari dalam setengah kantukku. Kentut Semar, hidung si Petruk, pengkrang si Gareng dan suara sember si Bagong lama-lama terasa akrab mengisi dimensi khayalku.
Goro-goro versi wayang kulit harusnya dimaknai sebagai simbolisasi dari perlawanan terhadap kekuasaan yang dijungkir balikkan melalui cerita. Bahkan para dalang jaman bahuela terbiasa mendemontrasikan pemberontakannya atau ide-ide pembaharuannya pada sesi goro-goro ini.
Berbicara goro-goro tak nyamleng bila tak membicarakan lakon utama dalam goro-goro itu sendiri. Ya, goro-goro atau jungkir baliknya dunia adalah saatnya bagi punakawan tampil. Beberapa tokoh jelek jejogedan dan uro-uro semaunya, cebang-ceblung ngalor ngidul omongannya tetapi pesannya jelas.
Megahnya istana Atmartha atau Hastina di dilupakan, sebagai gantinya suasana pedesaaan Karangkedempel atau Pecukpecukilan ditampilkan, ini jamannya kaum kromo. Begitu tegasnya goro-goro.
Di tanah asalnya, di lembah Sungai Gangga dan Yamuna di selatan Himalaya, konsep wayang punakawan sama sekali tidaklah dikenal. Dengan kata lain konsep rakyat jelata dalam struktur wayang India juga tidak tidak ada.
Dengarlah imbauan Manusmriti yang mengatakan, "… untuk menjalankan tugas negara, Ksatria dan Brahmana harus bersatu, dan Sudra harus menjalankan tugas yang telah digariskan. Sudra harus menekuni kewajibannya sendiri. Tak boleh berpikir mengenai urusan negara" Cerita wayang adalah cerita tentang para ksatria, para dewa dan para raja dan tak ada tempat bagi para hamba.
Konsep punakawan adalah murni hasil pemikiran kerakyatan manusia Jawa. Dia mewakili pandangan ideologis rakyat yang serong ke "kiri", sekaligus mewakili pandangan-pandangan akar rumput yang membebaskan.
Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.
Alkisah, di dasar samudera, seorang pertapa raksasa, Begawan Salantara atau raja Gandarwa begitu biasa dia disebut. Berputra pemuda gagah bak Casanova. Namanya Bambang Pecrukpenyukilan. Meskipun suka asbun, Bambang Pecrukpenyukilan mewarisi kesaktian ayahnya, hingga di kampungnya dia menjadi jejadug.
Merasa tak mendapat lawan setimpal di kampung, dia naik kedarat mencari lawan untuk menjajal kesaktian. Beruntunglah, ada Bambang Sukakadi, pemuda dari pertapaan Bluluktiba yang ingin menjajal ilmu kebalnya.
Pertempuran gaya pasar pagipun tak terelakkan. Keduanya saling menendang, memukul, menginjak, menyikut, mengigit dan brakotan. Alhasil rusaklah badan mereka. Tanpa operasi plastik kedua pemuda yang tadinya gagah berubah wujud menjadi dua sosok berwajah aneh dan ancur-ancuran.
Untunglah sebelum perkelahian gaya bebas berakibat fatal datang Sang Smarasanta alias Ki Semar Badranaya bersama jelmaan bayangannya, Bagong (Bawor=Banyumas, Besut=Jawa Timur, Cepot=Sunda). Atas wejangan Semar kedua pemuda itu tersentuh dan bertekad mengabdi seumur hidup pada Ki Semar.
Sejak itu Bambang Pecrukpenyukilan berubah nama menjadi Petruk dan Bambang Sukakadi berubah nama menjadi Gareng. Bersama Semar, Gareng dan Bagong, Petruk menjadi panakawan, pengiring setia para ksatria Pandawa. Dan kebetulan Petruk-lah yang ingin saya ceritakan kali ini dalam kisah paling merakyat, Petruk Dadi Ratu.
Dhok..derodhok..dhok.. dhok… Sang dalang menghajar kothaknya untuk memulai cerita.
Pertarungan baru saja di mulai, dengan mudahnya para ksatria Astina dan Amarta yang dikagumi dan diyakini memiliki kesaktian tak terbayangkan KO dalam sekali pukul. Sebuah negara kecil, Sonyawibawa, muncul tiba-tiba di pojokan Astina yang agung. Mengaku berdaulat dan menantang perang Astina. Hasilnya David mengalahkan Goliath. Dan Petruk menjadi raja dan menghadiahi gelar pada dirinya sendiri Sang Prabu Baginda Belgeduwelbeh Tongtongsot Upilkulegen Hanyokrowati Mbaudendo Panato Senggomo'ne Kenya Limo.
Bagi Petruk menjadi raja adalah amanat, dan kesaktian yang bisa mengalahkan para ksatria adalah kekuatan akar rumput yang sudah muak akan penindasan. Kekuatan nurani rakyat yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam kesaktian andalan para ksatria. Dan Petruk adalah semangatnya.
Petruk menjadi raja bukan karena dia marah dan mendendam pada para majikannya. Dan dia juga tidak memiliki ajian mumpung, mumpung berkesempatan memegang jimat Kalimasada. Petruk bukan itu. Dia malah menawarkan kesempatan para ksatria untuk sejenak ijolan nggon (bertukar tempat) dengan para hamba.
Petruk juga mengajarkan kepada para satria ilmu yang seringkali dilupakan para ksatria. Ilmu mendengarkan, ilmu hidup prihatin, ilmu ditimpa kesewenangan dan ketidakadilan, ilmu mengaduh tanpa suara, ilmu menghamba tetapi berjiwa merdeka.
Karena jika ksatria mempunyai hati hamba, apalah susahnya hidup sederhana? Jika ksatria mempunyai telinga, apa susahnya diam mendengar? Jika ksatria bermata, apa susahnya melihat realita? Jika ksatria berotak, apa susahnya mikir rakyatnya?
Jungkir-baliknya tatanan istana yang mulia bukannya tanpa sengaja oleh Petruk. Tetapi karena memang bahasa Petruk adalah bahasa kampung, udik, ndeso dan katrok. Petruk justru mengingatkan, tatanan hanyalah tatanan, hukum hanyalah hukum dan nilai hanyalah nilai. Manusialah yang harusnya menjadi tujuan termulia.
Ketika ksatria menjadi penghamba lekuk-liku birokrasi istana, guna apa mereka bagi kawula? Bukankah raja ada karena ada kawula, dan raja hanya dititipi amanah semata dan bertahta demi rakyatnya?
Bukankah tatanan, hukum, nilai atau apapun dibuat demi kesejahteraan rakyatnya? Dan Petruk ingin meningatkan hal itu.
Petruk bukannya kurang ajar menembus hierarki, tetapi itu adalah keniscayaan. Ketika semua saluran mampet. Dan kondisi menciptakan penjegalan supaya yang dibawah tak bisa meluncur ke atas, ketika kelompok atas enggan turun ke bawah, saat itulah Petruk sang pembebas muncul. Dia menunjukan bahwa semua orang berhak berkuasa, semua orang layak menghamba. Hanya akhlak dan kemampuanlah penentunya.
Dan Petruk tetaplah Petruk kejayaan tiadaklah menghapus kesederhanaanya. Meskipun menjadi raja sakti madraguna kaya raya, tetap dipilihnya permaisuri buruk rupa. Pas benar dengan dirinya. Tidak mengumbar keinginan meskipun bisa.
Lihatlah ketika pelantikan dirinya, yang ingin ditontonya bukan dansa-dansi atau opera yang ndakik-ndakik. Dia hanya ingin nonton tayub dengan ledek yang bisa goyang ngebor mirip Inul. Hobinya pun bukan langsung ganti dengan golf atau clubbing, tetap gobag slodor.
Dan ketika waktunya tiba, Petruk runtuh ketika harus berhadapan dengan Bagong saudaranya sesamanya. Bukan dengan ilmu dan aji jaya kawijayan bak ksatria. Namun dengan berkelahi gaya bebas khas pinggiran, mbrakot, nyokot, nyuwek dan njabak. Ya gelut gaya pasar pagi, itulah bahasa Petruk, bahasa Bagong, bahasa rakyat.
"Setting situasinya jelas suasana yang `chaos' dan ditandai gunung meletus, bukit ambrol segoro sat dan panggeblug yang datang"
Begitu lah awalnya penderitaanku diperkosa oleh simbah yang rindu jaman raja. Berjam-jam lamanya setelah itu, alamku dikuasai oleh negeri entah berantah dan nama-nama yang walau kukenal tetaplah terasa asing. Pada tarikan pertama sandal bandrol, selop, sepatu boot atau amben tingkat lebih menakutkanku, sehingga mata yang sudah lima watt mesti di guyur bergelas-gelas kopi agar bisa lebih mendhelo.
Lalu pelan-pelan, Semar, Petruk, Gareng dan Bagong mulai menari-nari dalam setengah kantukku. Kentut Semar, hidung si Petruk, pengkrang si Gareng dan suara sember si Bagong lama-lama terasa akrab mengisi dimensi khayalku.
Goro-goro versi wayang kulit harusnya dimaknai sebagai simbolisasi dari perlawanan terhadap kekuasaan yang dijungkir balikkan melalui cerita. Bahkan para dalang jaman bahuela terbiasa mendemontrasikan pemberontakannya atau ide-ide pembaharuannya pada sesi goro-goro ini.
Berbicara goro-goro tak nyamleng bila tak membicarakan lakon utama dalam goro-goro itu sendiri. Ya, goro-goro atau jungkir baliknya dunia adalah saatnya bagi punakawan tampil. Beberapa tokoh jelek jejogedan dan uro-uro semaunya, cebang-ceblung ngalor ngidul omongannya tetapi pesannya jelas.
Megahnya istana Atmartha atau Hastina di dilupakan, sebagai gantinya suasana pedesaaan Karangkedempel atau Pecukpecukilan ditampilkan, ini jamannya kaum kromo. Begitu tegasnya goro-goro.
Di tanah asalnya, di lembah Sungai Gangga dan Yamuna di selatan Himalaya, konsep wayang punakawan sama sekali tidaklah dikenal. Dengan kata lain konsep rakyat jelata dalam struktur wayang India juga tidak tidak ada.
Dengarlah imbauan Manusmriti yang mengatakan, "… untuk menjalankan tugas negara, Ksatria dan Brahmana harus bersatu, dan Sudra harus menjalankan tugas yang telah digariskan. Sudra harus menekuni kewajibannya sendiri. Tak boleh berpikir mengenai urusan negara" Cerita wayang adalah cerita tentang para ksatria, para dewa dan para raja dan tak ada tempat bagi para hamba.
Konsep punakawan adalah murni hasil pemikiran kerakyatan manusia Jawa. Dia mewakili pandangan ideologis rakyat yang serong ke "kiri", sekaligus mewakili pandangan-pandangan akar rumput yang membebaskan.
Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.
Alkisah, di dasar samudera, seorang pertapa raksasa, Begawan Salantara atau raja Gandarwa begitu biasa dia disebut. Berputra pemuda gagah bak Casanova. Namanya Bambang Pecrukpenyukilan. Meskipun suka asbun, Bambang Pecrukpenyukilan mewarisi kesaktian ayahnya, hingga di kampungnya dia menjadi jejadug.
Merasa tak mendapat lawan setimpal di kampung, dia naik kedarat mencari lawan untuk menjajal kesaktian. Beruntunglah, ada Bambang Sukakadi, pemuda dari pertapaan Bluluktiba yang ingin menjajal ilmu kebalnya.
Pertempuran gaya pasar pagipun tak terelakkan. Keduanya saling menendang, memukul, menginjak, menyikut, mengigit dan brakotan. Alhasil rusaklah badan mereka. Tanpa operasi plastik kedua pemuda yang tadinya gagah berubah wujud menjadi dua sosok berwajah aneh dan ancur-ancuran.
Untunglah sebelum perkelahian gaya bebas berakibat fatal datang Sang Smarasanta alias Ki Semar Badranaya bersama jelmaan bayangannya, Bagong (Bawor=Banyumas, Besut=Jawa Timur, Cepot=Sunda). Atas wejangan Semar kedua pemuda itu tersentuh dan bertekad mengabdi seumur hidup pada Ki Semar.
Sejak itu Bambang Pecrukpenyukilan berubah nama menjadi Petruk dan Bambang Sukakadi berubah nama menjadi Gareng. Bersama Semar, Gareng dan Bagong, Petruk menjadi panakawan, pengiring setia para ksatria Pandawa. Dan kebetulan Petruk-lah yang ingin saya ceritakan kali ini dalam kisah paling merakyat, Petruk Dadi Ratu.
Dhok..derodhok..dhok.. dhok… Sang dalang menghajar kothaknya untuk memulai cerita.
Pertarungan baru saja di mulai, dengan mudahnya para ksatria Astina dan Amarta yang dikagumi dan diyakini memiliki kesaktian tak terbayangkan KO dalam sekali pukul. Sebuah negara kecil, Sonyawibawa, muncul tiba-tiba di pojokan Astina yang agung. Mengaku berdaulat dan menantang perang Astina. Hasilnya David mengalahkan Goliath. Dan Petruk menjadi raja dan menghadiahi gelar pada dirinya sendiri Sang Prabu Baginda Belgeduwelbeh Tongtongsot Upilkulegen Hanyokrowati Mbaudendo Panato Senggomo'ne Kenya Limo.
Bagi Petruk menjadi raja adalah amanat, dan kesaktian yang bisa mengalahkan para ksatria adalah kekuatan akar rumput yang sudah muak akan penindasan. Kekuatan nurani rakyat yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam kesaktian andalan para ksatria. Dan Petruk adalah semangatnya.
Petruk menjadi raja bukan karena dia marah dan mendendam pada para majikannya. Dan dia juga tidak memiliki ajian mumpung, mumpung berkesempatan memegang jimat Kalimasada. Petruk bukan itu. Dia malah menawarkan kesempatan para ksatria untuk sejenak ijolan nggon (bertukar tempat) dengan para hamba.
Petruk juga mengajarkan kepada para satria ilmu yang seringkali dilupakan para ksatria. Ilmu mendengarkan, ilmu hidup prihatin, ilmu ditimpa kesewenangan dan ketidakadilan, ilmu mengaduh tanpa suara, ilmu menghamba tetapi berjiwa merdeka.
Karena jika ksatria mempunyai hati hamba, apalah susahnya hidup sederhana? Jika ksatria mempunyai telinga, apa susahnya diam mendengar? Jika ksatria bermata, apa susahnya melihat realita? Jika ksatria berotak, apa susahnya mikir rakyatnya?
Jungkir-baliknya tatanan istana yang mulia bukannya tanpa sengaja oleh Petruk. Tetapi karena memang bahasa Petruk adalah bahasa kampung, udik, ndeso dan katrok. Petruk justru mengingatkan, tatanan hanyalah tatanan, hukum hanyalah hukum dan nilai hanyalah nilai. Manusialah yang harusnya menjadi tujuan termulia.
Ketika ksatria menjadi penghamba lekuk-liku birokrasi istana, guna apa mereka bagi kawula? Bukankah raja ada karena ada kawula, dan raja hanya dititipi amanah semata dan bertahta demi rakyatnya?
Bukankah tatanan, hukum, nilai atau apapun dibuat demi kesejahteraan rakyatnya? Dan Petruk ingin meningatkan hal itu.
Petruk bukannya kurang ajar menembus hierarki, tetapi itu adalah keniscayaan. Ketika semua saluran mampet. Dan kondisi menciptakan penjegalan supaya yang dibawah tak bisa meluncur ke atas, ketika kelompok atas enggan turun ke bawah, saat itulah Petruk sang pembebas muncul. Dia menunjukan bahwa semua orang berhak berkuasa, semua orang layak menghamba. Hanya akhlak dan kemampuanlah penentunya.
Dan Petruk tetaplah Petruk kejayaan tiadaklah menghapus kesederhanaanya. Meskipun menjadi raja sakti madraguna kaya raya, tetap dipilihnya permaisuri buruk rupa. Pas benar dengan dirinya. Tidak mengumbar keinginan meskipun bisa.
Lihatlah ketika pelantikan dirinya, yang ingin ditontonya bukan dansa-dansi atau opera yang ndakik-ndakik. Dia hanya ingin nonton tayub dengan ledek yang bisa goyang ngebor mirip Inul. Hobinya pun bukan langsung ganti dengan golf atau clubbing, tetap gobag slodor.
Dan ketika waktunya tiba, Petruk runtuh ketika harus berhadapan dengan Bagong saudaranya sesamanya. Bukan dengan ilmu dan aji jaya kawijayan bak ksatria. Namun dengan berkelahi gaya bebas khas pinggiran, mbrakot, nyokot, nyuwek dan njabak. Ya gelut gaya pasar pagi, itulah bahasa Petruk, bahasa Bagong, bahasa rakyat.
Semar (2) - Moel
Semar dalam Filosofi
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan ,rasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.
Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah
- Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
- Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
- Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
- Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan ,rasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.
Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah
- Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
- Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
- Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
- Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Semar (1) - Moel
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
- Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
- Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
- Yang bukan dikira iya.
- Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
- tidak pernah lapar
- tidak pernah mengantuk
- tidak pernah jatuh cinta
- tidak pernah bersedih
- tidak pernah merasa capek
- tidak pernah menderita sakit
- tidak pernah kepanasan
- tidak pernah kedinginan
Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Subscribe to:
Posts (Atom)