Ketemu Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima berhasil menyingkirkan semua hambatan, mendadak tanpa persiapan apapun , dia ketemu dengan Dewa mungil yang bercahaya terang tetapi tidak menyilaukan ,rupanya mirip benar dengan dirinya, namanya Dewa Suksma Ruci.Bima diperintahkan masuk kedalam raga Dewa Suksma Ruci melalui telinga kiri dewa tersebut.
Meskipun ragu, bagaimana mungkin dia yang bertubuh besar bisa masuk ketelinga dewa kecil tersebut. Bima patuh dan melakukan seperti yang diperintahkan. Dan apa yang terjadi? Bima sudah berada didalam dan disitu Bima bisa melihat seluruh jagat dan juga dewa mungil tersebut.
Pelajaran spiritual dari bertemunya Bima dengan Dewa Suksma Ruci adalah : Bima bersamadi dengan benar dan kesampaian samadinya. Kedatangan Dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima, bersatunya Kawulo dan cahaya Gusti.
Didalam pandangan dalamnya , Bima bisa melihat segalanya, segalanya telah terbuka untuknya ( Tinarbuko).
Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya. Dia telah menemukan sejati pribadinya yang berada didalam dirinya.” Aku Bima”, telah bertemu dengan “Bima Sejati” yang berupa cahaya.
dan telah mengenal siapa dirinya bimo sendiri
Tuesday, January 26, 2010
Bimo Suci 3 - Moel
apa yang dicari Bimo yaitu air prawita sari .....
Ia telah menaklukkan hutan belantara gunung yang bergolak mahmanya
Air Suci Prawitasari
Semua bermula ketika Bima disuruh oleh Guru Durna untuk menemukan Air Suci Prawitasari, supaya hidupnya benar-benar tentram bahagia.
Prawita dari pawita artinya bersih, suci; sari adalah inti. Jadi, Air Suci Prawitasari adalah inti dari Ngelmu Suci – The essence of divine spiritual knowledge.
Guru Durna menilai bahwa sudah saatnya Bima mendapatkan tataran ngelmu yang lebih tinggi. Menurut pengamatannya , Bima sampai saat ini telah berhasil menyelesaikan banyak tugas dalam bidang keduniawian, dia mampu karena pandai dan prigel dan dia punya budi luhur dan sikap mental yang baik.
Laku spiritual
Dalam usaha untuk menemukan Air Suci Prawitasari, dalam kisah wayang Dewa Ruci, Bima harus berjuang mati-matian seorang diri. Dibawah ini rintangan –rintangan yang harus disingkarkan :
Hutan Tikbrasara
Atas petunjuk gurunya, Bima menyeruak hutan lebat Tikbrasara yang seram dan banyak binatang buasnya. Bahaya yang dihadapi besar sekali, maut selalu menanti.
Sebenarnya Tikbrasa merupakan pralambang. Tikbra artinya prihatin; sara artinya tajam. Ini merupakan pelajaran untuk mencapai cipta yang tajam dan benar, dalam istilah spiritual umum adalah visualisasi yang tajam sehingga tujuan tercapai.
Gunung Reksamuka
Bima harus mendaki kepuncak gunung yang tinggi, melewati jalan terjal berkelok-kelok. . Dia berani menghadapi resiko apapun.
Ini juga pralambang, maksudnya harus mampu menjaga fokus pandangan mata. Pengalaman menjelajah hutan Tikbrasara dan mendaki gunung Reksamuka adalah merupakan pelajaran sikap dalam melakukan meditasi atau samadi.
Siapkan diri baik-baik sebelumnya dengan membersihkan raga dan jiwa ( istilahnya :sesuci). Bersikap santai, pasrah. Fokuskan pandangan mata kepuncak gunung, yaitu kepucuk hidung.Yang samadi, batinnya naik ketempat yang tinggi. Dalam istilah kebatinan Kejawen dikatakan : bagai mendaki Tursina. Tur artinya gunung; sina adalah tempat yang tinggi.
Mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala
Dihutan, Bima berhasil menaklukkan dua raksasa yang berwajah bengis menakutkan, yaitu Rukmuka dan Rukmakala.
Ini juga pralambang. Supaya meditasinya berhasil, kedua halangan besar itu harus disingkirkan.
Bagaimana bisa pasrah sumarah dalam samadi kalau pikiran ke Rukmuka artinya mau melahap makanan-makanan enak mewah yang sebenarnya ruk ( merusak) kesehatan tubuh dan pikiran.
Orang-orang tua suka memberi nasihat : Boleh makan secukupnya saja dan makanan yang sehat, diutamakan sayur dan buah. Kalau terlalu banyak makan lemak dan daging, selain tidak baik untuk kesehatan, juga tidak baik untuk spiritualitas.
Rukmakala adalah rukma( emas) yang kala ( membahayakan) .Maksudnya , pikiran jangan maunya kekayaan materi yang melimpah melulu. Itu halangan untuk laku spiritualitas dan samadi.
Itulah kenapa, Bima harus mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala.
Ternyata Air Suci Prawitasari tidak ada dihutan dan digunung.Bima yakin apa yang dicari ada didalam samudra.
Samudra mengingatkan kepada kata “samudra pangaksama” artinya punyailah hati yang lapang, jadilah orang yang pemaaf.
Bima meneruskan perjalanan dan tanpa ragu masuk ke samudra. Belum lama berada diair, Bima sudah mau diterkam seekor Ular Laut Raksasa. Bima bukan orang penakut, ular laut itu dihadapinya.
Ular disini melambangkan sifat-sifat jahat yang harus dilawan. Sesudah ular, yaitu sifat-sifat jahat berhasil disingkirkan, lalu sifat-sifat yang baik perlu dipertahankan dan dilakukan, antara lain :
· Tidak iri kepada orang lain yang maju dan berhasil. Tidak susah yang berlebihan sewaktu kekayaannya berkurang ( bahasa Jawa : Rila).
· Selau bersikap baik dan benar ( Legawa).
· Menjalani kehidupan dengan rasa syukur dan dengan sadar. ( Nrima).
· Rendah hati, sabar. Walau dijahati orang, tidak membalas, tidak dendam ( Anoraga).
· Tahu dengan sadar yang salah dan yang benar. Ingat kepada yang sejati. ( Eling).
· Tidak pernah bosan berbuat yang benar, antara lain untuk melakukan samadi.( Santosa).
· Tentram hatinya, melupakan kesalahan masa lalu dan kerugian-kerugian yang pernah dialami diwaktu silam. ( Gembira).
· Selalu berniat dan berbuat baik untuk kepentingan semua pihak ( Rahayu).
· Menjaga kesehatan badan, raga dirawat supaya tetap sehat, dipergunakan untuk berkiprah positif .Kalau sakit dihusada/diobati. ( Wilujeng).
· Selalu belajar dan mempelajari ilmu dan ngelmu yang benar ( Marsudi kawruh).
· Melakukan samadi rutin, teratur dan disetiap saat terpanggil.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari supaya bersikap ngurang-ngurangi, misalnya makan pada waktu sudah lapar, makannya tidak perlu banyak, secukupnya saja. Minum pada waktu haus dan tidak usah memilih minuman yang enak-enak. Tidur pada waktu sudah mengantuk, tidak perlu dikasur yang empuk dan mewah, yang sederhana saja asalkan bersih dan sehat.Jangan suka ngomong dibelakang dan menjelek-jelekkan orang lain.Selalu bersikap positif dalam menjalani hidup ini. Bercinta dalam batas takaran dan sebaiknya dengan pasangannya yang sah.
Ia telah menaklukkan hutan belantara gunung yang bergolak mahmanya
Air Suci Prawitasari
Semua bermula ketika Bima disuruh oleh Guru Durna untuk menemukan Air Suci Prawitasari, supaya hidupnya benar-benar tentram bahagia.
Prawita dari pawita artinya bersih, suci; sari adalah inti. Jadi, Air Suci Prawitasari adalah inti dari Ngelmu Suci – The essence of divine spiritual knowledge.
Guru Durna menilai bahwa sudah saatnya Bima mendapatkan tataran ngelmu yang lebih tinggi. Menurut pengamatannya , Bima sampai saat ini telah berhasil menyelesaikan banyak tugas dalam bidang keduniawian, dia mampu karena pandai dan prigel dan dia punya budi luhur dan sikap mental yang baik.
Laku spiritual
Dalam usaha untuk menemukan Air Suci Prawitasari, dalam kisah wayang Dewa Ruci, Bima harus berjuang mati-matian seorang diri. Dibawah ini rintangan –rintangan yang harus disingkarkan :
Hutan Tikbrasara
Atas petunjuk gurunya, Bima menyeruak hutan lebat Tikbrasara yang seram dan banyak binatang buasnya. Bahaya yang dihadapi besar sekali, maut selalu menanti.
Sebenarnya Tikbrasa merupakan pralambang. Tikbra artinya prihatin; sara artinya tajam. Ini merupakan pelajaran untuk mencapai cipta yang tajam dan benar, dalam istilah spiritual umum adalah visualisasi yang tajam sehingga tujuan tercapai.
Gunung Reksamuka
Bima harus mendaki kepuncak gunung yang tinggi, melewati jalan terjal berkelok-kelok. . Dia berani menghadapi resiko apapun.
Ini juga pralambang, maksudnya harus mampu menjaga fokus pandangan mata. Pengalaman menjelajah hutan Tikbrasara dan mendaki gunung Reksamuka adalah merupakan pelajaran sikap dalam melakukan meditasi atau samadi.
Siapkan diri baik-baik sebelumnya dengan membersihkan raga dan jiwa ( istilahnya :sesuci). Bersikap santai, pasrah. Fokuskan pandangan mata kepuncak gunung, yaitu kepucuk hidung.Yang samadi, batinnya naik ketempat yang tinggi. Dalam istilah kebatinan Kejawen dikatakan : bagai mendaki Tursina. Tur artinya gunung; sina adalah tempat yang tinggi.
Mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala
Dihutan, Bima berhasil menaklukkan dua raksasa yang berwajah bengis menakutkan, yaitu Rukmuka dan Rukmakala.
Ini juga pralambang. Supaya meditasinya berhasil, kedua halangan besar itu harus disingkirkan.
Bagaimana bisa pasrah sumarah dalam samadi kalau pikiran ke Rukmuka artinya mau melahap makanan-makanan enak mewah yang sebenarnya ruk ( merusak) kesehatan tubuh dan pikiran.
Orang-orang tua suka memberi nasihat : Boleh makan secukupnya saja dan makanan yang sehat, diutamakan sayur dan buah. Kalau terlalu banyak makan lemak dan daging, selain tidak baik untuk kesehatan, juga tidak baik untuk spiritualitas.
Rukmakala adalah rukma( emas) yang kala ( membahayakan) .Maksudnya , pikiran jangan maunya kekayaan materi yang melimpah melulu. Itu halangan untuk laku spiritualitas dan samadi.
Itulah kenapa, Bima harus mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala.
Ternyata Air Suci Prawitasari tidak ada dihutan dan digunung.Bima yakin apa yang dicari ada didalam samudra.
Samudra mengingatkan kepada kata “samudra pangaksama” artinya punyailah hati yang lapang, jadilah orang yang pemaaf.
Bima meneruskan perjalanan dan tanpa ragu masuk ke samudra. Belum lama berada diair, Bima sudah mau diterkam seekor Ular Laut Raksasa. Bima bukan orang penakut, ular laut itu dihadapinya.
Ular disini melambangkan sifat-sifat jahat yang harus dilawan. Sesudah ular, yaitu sifat-sifat jahat berhasil disingkirkan, lalu sifat-sifat yang baik perlu dipertahankan dan dilakukan, antara lain :
· Tidak iri kepada orang lain yang maju dan berhasil. Tidak susah yang berlebihan sewaktu kekayaannya berkurang ( bahasa Jawa : Rila).
· Selau bersikap baik dan benar ( Legawa).
· Menjalani kehidupan dengan rasa syukur dan dengan sadar. ( Nrima).
· Rendah hati, sabar. Walau dijahati orang, tidak membalas, tidak dendam ( Anoraga).
· Tahu dengan sadar yang salah dan yang benar. Ingat kepada yang sejati. ( Eling).
· Tidak pernah bosan berbuat yang benar, antara lain untuk melakukan samadi.( Santosa).
· Tentram hatinya, melupakan kesalahan masa lalu dan kerugian-kerugian yang pernah dialami diwaktu silam. ( Gembira).
· Selalu berniat dan berbuat baik untuk kepentingan semua pihak ( Rahayu).
· Menjaga kesehatan badan, raga dirawat supaya tetap sehat, dipergunakan untuk berkiprah positif .Kalau sakit dihusada/diobati. ( Wilujeng).
· Selalu belajar dan mempelajari ilmu dan ngelmu yang benar ( Marsudi kawruh).
· Melakukan samadi rutin, teratur dan disetiap saat terpanggil.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari supaya bersikap ngurang-ngurangi, misalnya makan pada waktu sudah lapar, makannya tidak perlu banyak, secukupnya saja. Minum pada waktu haus dan tidak usah memilih minuman yang enak-enak. Tidur pada waktu sudah mengantuk, tidak perlu dikasur yang empuk dan mewah, yang sederhana saja asalkan bersih dan sehat.Jangan suka ngomong dibelakang dan menjelek-jelekkan orang lain.Selalu bersikap positif dalam menjalani hidup ini. Bercinta dalam batas takaran dan sebaiknya dengan pasangannya yang sah.
Wednesday, January 20, 2010
Bimo Suci 1 - Moel
Lakon Dewa Ruci dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti "Nawaruci", "Dewa Ruci" dan "Bimo Suci". Menurut Seno Sastroamidjojo (1967) babon cerita Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie (1923) menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali.
ada juga yang menyebutkan bahwa Serat Dewaruci ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah.
Dari beberapa sumber pustaka tersebut pada intinya sama, yakni mengenai perjalanan Bima mencari Tirtha Pawitra atau Tirtha Perwita Sari guna mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaning agesang). Dari beberapa sumber sebagaimana telah disebutkan di muka, maka dapat disajikan cerita Dewaruci tersebut sebagai berikut.
Atas permintaan para Korawa, Guru Drona memasang muslihat untuk melenyapkan Bima dengan menugasinya mencari Tirtha Pawitra sebagai sarana pembuka pengetahuan sejati yang bertempat di hutan Tibrasara di Gunung Candramuka.
ada juga yang menyebutkan bahwa Serat Dewaruci ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah.
Dari beberapa sumber pustaka tersebut pada intinya sama, yakni mengenai perjalanan Bima mencari Tirtha Pawitra atau Tirtha Perwita Sari guna mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaning agesang). Dari beberapa sumber sebagaimana telah disebutkan di muka, maka dapat disajikan cerita Dewaruci tersebut sebagai berikut.
Atas permintaan para Korawa, Guru Drona memasang muslihat untuk melenyapkan Bima dengan menugasinya mencari Tirtha Pawitra sebagai sarana pembuka pengetahuan sejati yang bertempat di hutan Tibrasara di Gunung Candramuka.
Bimo Suci 2 - Moel
Pada saat yang bersamaan di Sapta Pratala, Bhatara Anantaboga dan Dewi Suparti menerima sasmita dewata bahwa Bima menantu mereka akan menerima cobaan. Sang Dewi Suparti segera silih warna atau berubah wujud sebagai naga berangkat untuk membantu sang menantu.
Di perjalanan bersua para kurawa dan bertempur, namun para kurawa segera menyimpang jalan setelah diganggu oleh Naga jelmaan Dewi Suparti. Naga jelmaan segera melanjutkan langkah dan bertapa di gua Sigrangga di Sapta Arga. Rsi Abhyasa sedang dihadapkan pada Arjuna dan para Punakawan yang melaporkan bahwa Arya Sena hendak dicelakai Danghyang Drona. Rsi Abhyasa menyuruhnya mencegah, namun bila berkeras, doakanlah agar semua langkahnya membawa hasil sepadan.
Di tengah rimba dalam perjalanan pulang, Arjuna dan Punakawan bertemu sepasang macan, sang Kesara dan sang Kesari. Kedua harimau tersebut ditewaskan dan kemudian lenyap menjadi Bhatara Brahma dan Dewi Saraswati. Brahma memberi wangsit bahwa Bima akan memperoleh anugrah. Setelah menyampaikan wangsit itu Brahma dan Sang Dewi kembali ke Kahyangan Brahma (mur ring brahmaloka).
Sementara itu di Amarta sedang ada pertemuan antara Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa dan Kresna. Prabu Kresna yang ada di sana ikut menahan Bima agar membatalkan niatnya. Namun Bima berkeras bahwa mencari Tirtha Pawitra di Gunung Candramuka adalah bukti baktinya pada Dang Guru Drona serta demi mengejar pemahaman inti pengetahuan sejati. Di tengah Pasewakan tersebut Arjuna datang dan melaporkan semua yang diketahuinya, Arya Sena tetap tidak bisa ditahan dan pamit berangkat.
Sesampainya di Gunung Candramuka, Sang Sena bertindak membabi buta. Segala bukit batu dan pohon besar dibongkar berantakan. Namun apa yang dicari tetap tak ketemu juga. Rukmuka dan Rukmakala, sepasang raksasa di Gunung Candramuka murka melihat Arya Sena membongkar hutan semena-mena. Pertarungan pun tak terelakkan dan kedua raksasa itu musnah kembali ke wujud semula, yakni Hyang Indra dan Hyang Bayu. Keduanya kemudian memberikan Ajian Jalasengara dan Senjata Eka Druwendra.
Di perjalanan bersua para kurawa dan bertempur, namun para kurawa segera menyimpang jalan setelah diganggu oleh Naga jelmaan Dewi Suparti. Naga jelmaan segera melanjutkan langkah dan bertapa di gua Sigrangga di Sapta Arga. Rsi Abhyasa sedang dihadapkan pada Arjuna dan para Punakawan yang melaporkan bahwa Arya Sena hendak dicelakai Danghyang Drona. Rsi Abhyasa menyuruhnya mencegah, namun bila berkeras, doakanlah agar semua langkahnya membawa hasil sepadan.
Di tengah rimba dalam perjalanan pulang, Arjuna dan Punakawan bertemu sepasang macan, sang Kesara dan sang Kesari. Kedua harimau tersebut ditewaskan dan kemudian lenyap menjadi Bhatara Brahma dan Dewi Saraswati. Brahma memberi wangsit bahwa Bima akan memperoleh anugrah. Setelah menyampaikan wangsit itu Brahma dan Sang Dewi kembali ke Kahyangan Brahma (mur ring brahmaloka).
Sementara itu di Amarta sedang ada pertemuan antara Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa dan Kresna. Prabu Kresna yang ada di sana ikut menahan Bima agar membatalkan niatnya. Namun Bima berkeras bahwa mencari Tirtha Pawitra di Gunung Candramuka adalah bukti baktinya pada Dang Guru Drona serta demi mengejar pemahaman inti pengetahuan sejati. Di tengah Pasewakan tersebut Arjuna datang dan melaporkan semua yang diketahuinya, Arya Sena tetap tidak bisa ditahan dan pamit berangkat.
Sesampainya di Gunung Candramuka, Sang Sena bertindak membabi buta. Segala bukit batu dan pohon besar dibongkar berantakan. Namun apa yang dicari tetap tak ketemu juga. Rukmuka dan Rukmakala, sepasang raksasa di Gunung Candramuka murka melihat Arya Sena membongkar hutan semena-mena. Pertarungan pun tak terelakkan dan kedua raksasa itu musnah kembali ke wujud semula, yakni Hyang Indra dan Hyang Bayu. Keduanya kemudian memberikan Ajian Jalasengara dan Senjata Eka Druwendra.
Wednesday, January 6, 2010
Betoro Kolo 3 - Moel
BATARA KOLO Menurut pewayangan Jawa
Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
nmaka di jawa terkenal adanya tradisi RUWATAN
Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
nmaka di jawa terkenal adanya tradisi RUWATAN
Betoro Kolo 2 - Moel
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari “tumpek wayang” dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang “sapu leger”.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang “sapu leger”.
Betoro Kolo 1 - Moel
Kala (Devanagari) adalah putera Dewa Siwa/ Manikmaya/Yang Guru yang bergelar sebagai Dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang agar tunduk pada batas usianya.
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, “air mani” Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahm? dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahm? dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, “air mani” Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahm? dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahm? dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)